Cerita Wayang: Arjuna Wiwaha



Semesta pewayangan sangat luas, dan berupa kronologis yang tidak bisa dibilang singkat, karena berjalan pada banyak masa, dan bisa ditelik secara mendalam pada tiap masanya. Versi dari semesta ini pun banyak ragamnya, karena memang kisah pewayangan berasal dari berbagai sumber yang mengalami perubahan dan kreasi pada tiap daerah. Maka, dari laman blog ini yang akan banyak mengulas kisah dari semesta pewayangan, sajian pertama adalah kisah Arjuna Wiwaha dari rangkaian Mahabharata.


***


Kalau dihitung, sudah tujuh tahun Pandawa menjalani hukuman, tinggal lima tahun lagi, ditambah satu tahun penyamaran. Apabila penyamarannya diketahui oleh Kurawa, hukuman akan diulangi lagi sebanyak dua tahun lagi, begitu seterusnya. Atas saran Begawan Abiyasa Kresna Dwipayana, kakek mereka, Arjuna, sebagai orang yang tahan bertapa,  harus pergi bertapa di Gunung Indrakila untuk memohon senjata sakti dari Dewata, untuk bekal di kemudian hari yang akan sangat berguna.
            Maka, Arjuna lantas berpamitan dan berjalan menuju Gunung Indrakila. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun, Arjuna rela berkorban demi saudara-saudaranya. Setelah sekitar beberapa bulan, udara dingin pegunungan sudah mulai terasa, tanda perjalanan hampir sampai ke tujuan. Akhirnya, beberapa minggu kemudian, sampailah ia di lereng Gunung Indrakila. Ia mencari goa untuk bertapa, akhirnya ditemuilah sebuah goa yang dianggapnya nyaman.  Sebelumnya, ia mandi dulu di sungai, supaya dalam melaksanakan tugas suci ini berada dalam keadaan suci. Lantas, bertapalah ia dengan khusu. Seiring berjalannya waktu, Arjuna dikenal oleh penduduk setempat dengan Begawan Ciptaning Mintaraga.
            Kita beralih ke suatu kerajaan bernama Imantaka. Rajanya bernama Prabu Niwatakawaca, seorang yang sakti mandraguna, sehingga banyak disegani raja-raja. Tubuhnya kebal, tidak mempan oleh senjata apapun, karena ia mempunyai Aji Soka Wedha. Dahulu, Batara Guru pernah memberinya hadiah atas ketekunannya dalam bertapa,diberilah ia Aji Soka Wedha. Namun, kekuasaan dan harta yang ia miliki rasanya belum lengkap bila ia belum mampu memiliki Batari Supraba, bidadari paling cantik di kahyangan, putri Batara Indra.
            Suatu hari, ia memanggil patihnya yang bernama Mamangmurka. “Mamangmurka, kau pun telah tahu tidak ada raja di dunia ini yang sesakti aku,“
            “Iya, Gusti. Gusti adalah raja yang tiada bandingannya,“
            “Namun, kesaktian dan kekuasaan itu sepertinya belum membuatku puas, Mamangmurka.“
            “Lalu, apa yang akan membuat Gusti puas?“
            “Aku kini sedang dilanda rindu asmara kepada Batari Supraba. Maka dari itu, aku beri engkau tugas untuk melamar Batari Supraba ke Suralaya,“
            “Bagaimana kalau ditolak, gusti?“
            “Kita akan gempur Suralaya sampat rata dengan tanah. Sudah, ayo berangkat, Mamangmurka!“
Komik Arjuna Wiwaha karya R.A. Kosasih
            “Baik, Gusti. Mohon pamit, Gusti“. Patih Mamangmurka segera melesat ke angkasa menuju kahyangan. Gunung-gunung yang menjulang tinggi itu dilewatinya secepat kilat.
            Beberapa jam kemudian, sampailah Mamangmurka di pintu gerbang Selamatangkap. Di sana ia dihadang oleh Sanghyang Cingkarabala dan Sanghyang Balaupata.
“Siapa sampeyan? Apa maksud sampeyan kemari?“, tanya Cingkarabala. Mamangmurka  menjawab, “Saya Mamangmurka, utusan Prabu Niwatakawaca, ingin bertemu Pukulun Batara Indra,“
“Untuk apa bertemu Pukulun Batara Indra?“
“Saya hendak menyampaikan lamaran rajaku kepada putrinya, Batari Supraba,“
“Tidak bisa, sampean tidak saya izinkan. Lebih baik kembali kenegaramu!“ Pada saat itu, Batara Indra datang menhampiri mereka. “Hahaha, akhirnya Batara Indra keluar juga.“
“Aku sudah tahu maksudmu,“
“Ya, ya, lalu bagaimana lamaran rajaku, apakah diterima, Pukulun?“
“Lamaran rajamu akan diterima jika dapat memberikan maskawin berupa Bunga Sumarsana Wilis.“
“Kira-kira dimana tumbuh bunga itu, Pukulun?“
“Cukup sulit menemukannya. Bunga itu hanya tumbuh sekali dan hanya satu sepanjang masa. Kini telah dimiliki oleh Arjuna, ksatria Pandawa. Kau bisa meminjamnya untuk keperluan,”
“Baik, Pukulun. Terimakasih, Pukulun.“ Mamangmurka lantas langsung pergi meninggalkan Batara Indra. Ia kembali ke negaranya, untuk memberi tahu hasil lamarannya kepada rajanya. Dengan rasa bangga, ia kembali melewati rangkaian gunung-gunung tinggi tersebut, menuju negaranya, Imantaka.
“Gusti Prabu Niwatakawaca, saya membawa kabar gembira, Gusti,“
“Eittt, ya, ya, berhasilkah lamaranku? Tapi… mana Supraba, Mang?“
“Begini, Gusti. Lamaran Gusti belum diterima, namun Pukulun Batara Indra menyarankan Gusti mencari Bunga Sumarsana Wilis, mungkin sebagai maskawin, Gusti,“
“Bunga Sumarsana Wilis? Apa itu, Mang? Dimana kita dapat mencarinya?“
“Saya tahu, Gusti, diberi tahu Pukulun Batara Indra. Bunga itu hanya ada satu di dunia ini. Namun, bunga itu sudah dimiliki, Gusti,“
“Siapa yang memilikinya, Mang?“
“Menurut keterangan Batara Indra, yang memilikinya ialah Raden Arjuna, Gusti“
“Arjuna? Arjuna penengah Pandawa?“
“Benar, Gusti,“
“Hmm, yo wis, sekarang juga pergilah mencari Arjuna dan bawa Bunga Sumarsana Wilis!“
“Sekarang, Gusti? Tetapi saya tidak tahu dimana keberadaan Arjuna,“
“Para Pandawa sedang diasingkan di Rimba Kamyaka. Carilah dia sampai dapat!“ Sungguh pekerjaan melelahkan, Mamangmurka belum istirahat dan sudah ditugaskan lagi oleh rajanya. Mau tidak mau dia harus taat.
Mamangmurka terbang menuju Rimba Kamyaka, mencari para Pandawa, khusunya Arjuna. Namun, ia belum tahu kalau Arjuna sedang bertapa di Gunung Indrakila. Ia cari saja para Pandawa dan akhirnya ketemulah mereka. Mamangmurka sangat waspada. Ia takut keberadaannya diketahui mereka, khususnya Bima yang badannya tinggi besar. Maka, ia mengambil langkah dengan merapal Aji Panglimunan. Tubuhnya bagaikan menghilang, tidak akan ada orang yang melihatnya, walaupun ia disampingnya. Namun, kagetlah ia ketika melihat tidak ada Arjuna diantara orang-orang itu. Hanya ada empat ksatria dan satu orang wanita. Maka, ia menguping pembicaraan para Pandawa, siapa tahu bisa dapat informasi tentang Arjuna.
“Kanda Yudhistira, lebih baik kita pindah dari tempat ini. Pasti si Duryudhana sudah mengirim mata-mata untuk mencari kita. Jangan sampai para Kurawa mengetahui keberadaan kita, Kanda,“ Bima sepertinya sangat waspada apa yang bakal dilakukan para Kurawa.
“Jangan dulu, Yayi. Nanti bagaimana jika Yayi Arjuna pulang dari Gunung Indrakila, dia pasti mencari kita di tempat ini. Tunggulah sampai Yayi Arjuna pulang.“ Berhasil juga siasat Mamangmurka. Dia akhirnya bisa mengetahui dimana keberadaan Arjuna. Ia lantas pergi ke Gunung Indrakila mencari Arjuna.
Sesampainya di lereng Gunung Indrakila, ia mencari goa yang ditempati Arjuna. Setelah beberapa goa dilewati dan diperiksa,akhirnya ditemuilah satu goa, didalamnya terlihat seorang pemuda tampan berpakaian seorang begawan. Ialah Arjuna, atau biasa dikenal penduduk setempat dengan nama Begawan Ciptaning Mintaraga. Kelihatannya sungguh khusyuk tapanya itu. Mamangmurka sampai kagum melihatnya. Namun, di balik kekagumannya, ia bingung, bagaimana cara membangunkan sang petapa.
Tiba-tiba di kepalanya muncullah sebersik ide. Ia akan menyamar menjadi seorang pengemis tua, yang hendak meminta sedekah dari sang Begawan.
Lalu, berubahlah Patih Mamangmurka menjadi seorang kakek tua dengan pakaian baju lusuh. Mukanya dibuat semelas mungkin, agar dapat menggoyahkan tapa sang Begawan. Dengan suara memelas, ia merintih kepada Begawan Mintaraga, “Oh, sang Begawan, tolonglah hamba yang belum makan dua hari. Sedekahkanlah sedikit saja harta panjenengan kepada saya, hanya untuk sesuap nasi, Raden,” Namun, sang petapa tahan godaan ini tak bergeming sedikit pun. Mamangmurka merasa tidak puas. Ia kembali mencoba, “Raden, kasihanilah hamba, Den bagus,” Sang Begawan tetap tidak bergerak dari tempatnya duduk.
Akhirnya, Mamangmurka mencari akal lain. Ia mencari cara agar ada sesuatu yang dapat membuat tapanya terganggu, sehingga bangun. Kembali ia mendapat harapan. Ia dapat berubah menjadi seekor celeng raksasa, yang merusak lingkungan sekitar. Hal itu dapat membuat Arjuna terganggu dengan suara tidak sedap, dan bangun dari tapanya.
Mamangmurka langsung menjauh dari goa, merapal ajian, lalu jadilah Mamangmurka menjadi wujud seekor celeng raksasa. Kakinya mulai bersiap untuk berjalan. Kepalanya telah siaga untuk menghajar apa pun yang dilewatinya. Tiba-tiba, si celeng berlari, menabrak pohon. Seketika itu juga, pohon itu tumbang. Si celeng tak henti-hentinya menyeruduk lingkungan sekitarnya, hingga sang Begawan terbangun daru tapa khusyuknya.
Begawan Ciptaning Mintaraga atau Arjuna, dapat mendengar suara binatang mengaum dan grusak-grusuk pohon tumbang. Merasa tak nyaman, ia terpaksa membuka matanya. Dilihatnya pohon-pohon pada tumbang semua, hutan jadi berantakan. Ternyata itu ulah seekor celeng raksasa. Rumah-rumah penduduk juga menjadi korban amukannya. Ia menjadi tercengang melihatnya.
Tiba-tiba, dari arah kanan muncul seseorang berperawakan seorang resi. “Sampurasun, Begawan Ciptaning Mintaraga,” Resi tersebut menyapa duluan.
“Panjenengan resi siapa? Telah tahu namaku?”
“Saya Resi Padya,”
“Ada apa panjenengan kemari?”
“Sampeyan bertapa tetapi mengapa masih membawa senjata? Dalam bertapa, seharusnya telah dijauhkan dari pikiran duniawi.”
“Saya ini seorang ksatria. Saya membawa ini untuk menolong orang yang membutuhkan,”
“Baiklah, kalau begitu, kau lihat celeng raksasa itu?”
“Iya, Resi,”
“Kalau kau ingin menolong orang yang membutuhkan, hambatlah celeng tersebut,”
“Baik, Resi. Saya akan segera ke sana,”
“Untuk bekal, gunakan ini,” Tiba-tiba resi tersebut berubah menjadi Batara Indra, memberi panah Ganapaksi.
“Oh, Rama Batara,”
“Arjuna, ini panah Ganapaksi. Jumlahnya tak terbatas, tak akan habis. Gunakanlah ini untuk membunuh celeng tersebut, anakku.”
“Terimakasih, Rama.” Arjuna segera mohon pamit kepada Batara Indra dan melesat untuk menghadang celeng raksasa tersebut.
Tak lama, ia telah berada di tempat celeng tersebut sedang mengamuk. Melihat Arjuna, si celeng langsung membalikkan badan dan langsung berlari hendak menyeruduk Arjuna. Arjuna dengan mudah mengelak ke samping. Pertarungan berlangsung sengit. Celeng raksasa tersebut ternyata sangat sakti. Arjuna akhirnya mencoba keampuhan panah Ganapaksi dari Batara Indra. Diambilnya panah Ganapaksi, lalu direntangkanlah busur, dan dilepas tepat mengenai perut si celeng. Namun, pada saat yang sama, sepucuk panah jugameluncur kea rah perut celeng tersebut. Arjuna mengalihkan pandangan, dilihatnya seorang ksatria yang sangat tampan. “Siapa sampean?” Tanya ksatria tersebut.
“Saya Begawan Ciptaning Mintaraga, sampeyan siapa?”
“Sampeyan tak perlu tahu namaku. Yang jelas celeng ini milikku,”
“Jangan ngawur, ksatria. Aku memanahnya baru saja,”
“Coba, kita periksa,” Dilihatlah oleh kedua ksatria tersebut. Ternyata, hanya ada satu anak panah di perut si celeng. Arjuna terheran-heran. “Ini anak panahku, pemberian Batara Indra. Sampean tidak bisa mengelak lagi.”
“Tidak, itu panahku. Jangan mengklaim yang tidak-tidak sampeyan!”
“Sampeyan ini sebenarnya siapa? Datang-datang membuat keributan, lebih baik kita lihat siapa yang lebih sakti.” Arjuna terpancing emosi. Ia menantang si ksatria untuk mengadu kesaktian.
Lalu, mulailah mereka bertarung. Ternyata, Arjuna lebih sering menangkis daripada menyerang. Arjuna sangat heran, tidak pernah ada lawan setangguh ini, ia tak diberi kesempatan oleh si ksatria. Arjuna tampak kewalahan. “Baiklah, saya mengaku kalah. Tetapi bolehkah saya tahu sampeyan ini siapa, ksatria?” Si ksatria berubah menjadi Batara Guru. Arjuna terduduk member hormat. “ Maafkan saya, Pukulun.”
“Tak apa-apa, Arjuna. Tapamu telah lulus. Kuberi kau panah Pasopati. Tetapi, kau masih mempunyai tugas, yaitu membunuh Prabu Niwatakawaca yang sedang membabi buta di kahyangan.”
“Baiklah, saya bersedia, Pukulun,” Arjuna langsung diantar Batara Guru ke Jonggringsaloka.
Sesampainya di sana, balatentara Imantaka telah menunggu di depan gerbang Suralaya. Sedangkan Arjuna bertemu Batari Supraba. Arjuna mengatur siasat untuk mengalahkan Prabu Niwatakawaca yang kebal. Batari Supraba disuruh pergi ke Imantaka untuk merayu Prabu Niwatakawaca agar memberi tahu kelemahannya, sementara Arjuna mengikuti dalam Aji Panglimunan. Setelah beberapa lama akhirnya diketahui bahwa kelemahan sang prabu adalah langit-langit mulutnya. Arjuna mengarahkan Pasopati kearah langit-langit mulutnya. Namun Prabu Niwatakawaca mendengar desingan panah Arjuna. Ia segera menghindar, sehingga tidak mengenainya. Melihat kejadian tersebut, Arjuna segera melarikan Batari Supraba. Prabu Niwatakawaca marah besar. Ia langsung menyerang ke Suralaya.
            Di Suralaya, balatentara Imantaka telah siap perang. Tiba-tiba dihadang balatentara Dewata yang dipimpin oleh Arjuna, yang telah sampai pula di Suralaya. Terjadi pertarungan yang seru. Tampak Arjuna bertarung melawan Prabu Niwatakawaca. Ternyata Arjuna cukup kewalahan menghadapi raja raksasa yang amat sakti tersebut. Pada suatu kesempatan ketika Arjuna makin terdesak, tiba-tiba datanglah Batari Supraba. Ia mengalihkan perhatian. Ia pura-pura menyerahkan diri kepada Prabu Niwatakawaca. Lalu Prabu Niwatakawaca menangkap Batari Supraba sambil tertawa terbahak-bahak, pada saat itulah Arjuna dengan gesit melepaskan Pasopati ke langit-langit mulut Prabu Niwatakawaca. Akhirnya matilah Prabu Niwatakawaca.
            Berkat jasanya kepada Dewata, Arjuna diperkenankan menetap di Swargaloka untuk sementara waktu dan dinikahkan dengan Batari Supraba. Setelah itu, Arjuna harus kembali ke Rimba Kamyaka untuk menemui saudaranya. Dengan membawa kabar gembira, panah Pasopati telah menjadi senjata andalannya. Suatu hal  yang sangat istimewa, karena merupakan pemberian langsung Batara Guru, penguasa jagat raya. Sedangkan Batari Supraba di kemudian hari melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Prabakusumah.

Komentar