Cerita Wayang: Arjuna Sasrabahu
Ini adalah sebuah cerita pada suatu masa sebelum mahacerita Rama dan Shinta. Ketika itu sang durjana Rahwana telah mahsyur dikenal, namun masih jauh sebelum lahirnya Sri Rama. Batara Wisnu dewa kebijaksanaan akan menitis untuk yang ketujuh kali, ke suatu negeri.
Tersebutlah terdapat suatu kerajaan bernama Maespati. Dahulu yang menjadi raja bernama Prabu Dewangga. Sang Prabu mempunyai putra bernama Raden Dewasana. Setelah Sang Prabu wafat, maka Dewasana menggantikannya menjadi raja. Lalu Sang Prabu dikaruniai 2 putra bernama Raden Heria dan Raden Wisanggeni. Lalu takhta diganti oleh Prabu Heria. Sedangkan Wisanggeni akan pergi bertapa ke Gunung Jatisarana. Semenjak dipimpin oleh Prabu Heria, negara bertambah makmur. Setelah beberapa tahun, Prabu Heria pun mendapat 2 putra. Yang sulung bernama Raden Kartawirya yang nantinya akan menggantikannya sebagai raja. Sedangkan yang bungsu, Resi Gotama mengikuti jejak pamannya. Dia lebih senang bertapa. Ia berumur panjang, ketika setelah menikah nanti ia akan menurunkan peranan penting dalam mahacerita selanjutnya.
Tersebutlah terdapat suatu kerajaan bernama Maespati. Dahulu yang menjadi raja bernama Prabu Dewangga. Sang Prabu mempunyai putra bernama Raden Dewasana. Setelah Sang Prabu wafat, maka Dewasana menggantikannya menjadi raja. Lalu Sang Prabu dikaruniai 2 putra bernama Raden Heria dan Raden Wisanggeni. Lalu takhta diganti oleh Prabu Heria. Sedangkan Wisanggeni akan pergi bertapa ke Gunung Jatisarana. Semenjak dipimpin oleh Prabu Heria, negara bertambah makmur. Setelah beberapa tahun, Prabu Heria pun mendapat 2 putra. Yang sulung bernama Raden Kartawirya yang nantinya akan menggantikannya sebagai raja. Sedangkan yang bungsu, Resi Gotama mengikuti jejak pamannya. Dia lebih senang bertapa. Ia berumur panjang, ketika setelah menikah nanti ia akan menurunkan peranan penting dalam mahacerita selanjutnya.
Di Maespati, keadaan keraton sedang
gembira karena Sang Permaisuri telah melahirkan seorang putra, diberi nama
Arjuna Wijaya. Sang bayi mempunyai kemuliaan karena dia adalah titisan Batara
Wisnu. Sementara itu, di Karang Tumaritis, tempat tinggal para punakawan, Ki
Lurah Semar Badranaya telah mengetahui bahwa Batara Wisnu telah menitis kepada
putra Prabu Kartawirya. Maka, ia bersama ketiga putranya akan mengabdikan diri.
Sampai di Mayaspati, para punakawan disambut dengan ramah oleh Prabu Kartawirya
dan Raden Arjuna Wijaya yang masih anak-anak.
Di sebuah negara bernama Magadha,
yang memerintah bernama Prabu Jibis. Ia mempunyai 2 anak bernama Dewi Citrawati
dan Raden Citradharma. Konon, Dewi Citrawati adalah titisan Batari Sri Laksmi,
istri Batara Wisnu. Ia sangat cantik. Sudah banyak raja yang meminangnya, namun
selalu ditolak. Ia hanya ingin bersuami yang merupakan titisan Batara Wisnu.
Setelah besar, Raden Citradharma diangkat menjadi raja dengan nama Prabu
Citragada.
Sementara itu, di Gunung Jatisarana,
tempat dimana Resi Wisanggeni bertapa, diceritakan bahwa sang resi telah
mempunyai 2 orang putra yang sifatnya berbeda satu sama lain. Yang sulung
bernama Suwandageni, seorang yang alim dan mau mentaati nasihat orang tua.
Sementara itu, yang bungsu bernama Jamadageni, gemar merantau serta
mempelajari berbagai ilmu kesaktian untuk mengalahkan lawannya. Setelah Resi
Wisanggeni mangkat, Resi Suwandageni menetap di pertapaan melanjutkan jejak
ayahnya. Ia mempunyai anak bernama Bambang Somantri dan Sokrasana. Wajah
Somantri mirip dengan Raden Arjuna Sasrabahu, sedangkan Sokrasana bertubuh cebol
dan memiliki wajah seperti raksasa. Ketika masih kecil, Sokrasana pernah
dibuang ke hutan oleh Resi Suwandageni karena ia malu mempunyai anak seperti
raksasa.
Beberapa tahun Sokrasana berada di hutan
sampai ia dapat berjalan. Pada suatu malam, ia sampai di pertapaan Resi
Suwandageni dan tertidur di lantai Paginya ia dibangunkan oleh Somantri dan
dibawa kehadapan ayanhnya. Karena keluhuran budi Somantri, Resi Suwandageni
memberitahu bahwa Sokrasana adalah adiknya. Mengetahui hal tersebut, Somantri semakin
sayang kepada Sokrasana.
Suatu hari, Somantri dan Sokrasana pergi
ke hutan yang letaknya agak jauh dari pertapaan. Tiba-tiba ada seorang raksasa
yang hendak menangkapnya. Somantri kewalahan melawan raksasa tersebut. Kejadian
tersebut diketahui oleh Batara Guru. Ia pun mengutus Batara Narada untuk
memberikan senjata pusaka milik Batara Indra kepada Somantri. Senjata itu
bernama Cakrabeswara. Batara Narada langsung menuju Jatisarana dan memberikan
Cakrabeswara kepada Somantri. Akhirnya Somantri dapat mengalahkan raksasa itu.
Setelah sudah cukup besar dan memiliki ilmu
kesaktian, ia ingin mengabdi kepada seorang raja. Iamintapendapat kepada
ayahnya. Ayahnya memberitahu bahwa Somantri harus mengabdi kepada raja yang kesaktiannya
melebihinya, serta memiliki budi pekerti yang tinggi. Orang itu harus seorang
titisan Batara Wisnu. Orang yang tepat adalah Prabu Arjuna Sasrabahu.
Tengah malam, Somantri telah berangkat
dan pagi harinya ia telah sampai di perbatasan Negara Maespati. Ketika itu,
Sokrasana telah bangun. Ia mencari-cari kakanya. Ia menanyakan kepada ayahnya,
dan ayahnya mengatakan bahwa Somantri pergi ke Maespati. Lalu diam-diam
Sokrasana pergi meninggalkan pertapaan.
Sementara itu, disebuah negara bernama
Widharba, rajanya bernama Prabu Darmawisesa. Ia dibantu kedua adiknya, Patih
Godadarma dan Dewi Darmawati. Suatu hari, Patih Godadarma mengumumkan bahwa
Sang Prabu akan melamar Dewi Citrawati dari negara Magadha. Para bupati dan
senapati diperintahkan untuk menyiapkan kekayaan dan balatentara untuk
pelamaran. Maka, berangkatlah Prabu Darmawisesa.
Singkat cerita, mereka telah sampai di
perbatasan Maespati. Mereka mendirikan perkemahan dan Patih Godadarma
diperintahkan untuk memberikan surat lamaran kepada Prabu Citragada. Singkatnya,
ia telah sampai di keraton Magadha. Ia memberikan surat kepada Prabu Citragada.
Prabu Citragada dan Patih Jaya Sembada bingung ketika membaca surat tersebut.
Lalu Prabu Citragada memerintahkan Patih Jaya Sembada untuk datang ke kemah
Widharba dan menyuruh Prabu Darmawisesa untuk bersabar sebentar.
Kembali ke Maespati, yang kini telah
diperintah oleh Prabu Arjuna Sasrabahu, sejak Prabu Kartawirya mangkat. Prabu
Arjuna Sasrabahu hendak membantu Kerajaan Magadha yang sedang terancam oleh
Prabu Darmawisesa. Disamping itu ia juga akan melamar Dewi Citrawati. “Sekarang
negara Magadha sedang terancam. Maka, sekarang kuminta menjadi utusanku untuk
membantu negara tersebut sekaligus melamar Dewi Citrawati,”
“Setuju!“ para menteri dan bupati
menyeru menyetujui niat Sang Prabu.
Pada saat itu, Bambang Somantri telah
sampai di istana Maespati. Tak ada yang mencegahnya masuk karena mukanya mirip
dengan Prabu Arjuna Sasrabahu, dikiranya Sang Prabu sedang menyamar. “Ampun
Gusti Prabu Arjuna Sasrabahu yang agung, saya Bambang Somantri putra Begawan
Wisanggeni dari Gunung Jatisarana. Maksud saya ingin mengabdikan diri kepada
Gusti Prabu,“
“Wah, kebetulan Bambang Somantri, kami
sedang merencanakan untuk melamar Dewi Citrawati di Magadha. Tetapi, kamu harus
memerrangi Prabu Damawisesa dari Widarba yang kini sedang mengancam Magadha
karena lamarannya ditolak. Apakah kau sanggup melawan Prabu Darmawsisesa yang
maha gagah dan sakti, Bambang Somantri?“
“Kalau untuk membela Gusti, saya siap,
walaupun harus menemui ajal,“
“Baik, Bambang Somantri, kuangkat
kaumenjadi wakilku untuk melamar Dewi Citrawati. Pengawal, antar Bambang Somantri
untuk berganti pakaian,“ Bambang Somantri diberi pakaian layaknya seorang
patih, lalu kembalimenghadap Sang Prabu.
“Somantri, sekarang kuangkat kau menjadi
wakilku untuk melamar Dewi Citrawati sekaligus menjadi patih negara Maespati.
Para narpati dan senopati, jika kalian akan membuat keputusan, harus dengan
persetujuan Patih Somantri terlebih dahulu,“
“Inggih, Gusti Prabu,“ para narpati
menyanggupi perintah Prabu Arjuna Sasrabahu.
Maka, pada saat itu juga, Bambang
Somantri mengatur balatentara yang akan berangkat ke Magadha. Tak lama,
barisannya telah rapi dan siap diberangkatkan. Balatentara Maespati berangkat
menuju Magadha.
Singkat saja mereka kini telah berada di
perbatasan. Prabu Citragada telah mengetahui utusan Prabu Arjuna Sasrabahu akan
datang memberikan bantuan. Maka dari itu, ia mengutus Patih Jaya Sembada untuk
menunggu rombongan Maespati di perbatasan. Kini, sampailah para rombongan
Maespati. Para utusan dari masing-masing raja, Patih Bambang Somantri dan Patih
Jaya Sembada, bertemu, saling memberikan hormat. Patih Sembada mengucapkan
terimakasih atas bantuan Prabu Arjuna Sasrabahu. Lalu, Bambang Somantri bersama
narpati Maespati lainnya, diantar ke istana Magadha, sedangkan para prajurit
Maespati mendirikan perkemahan di perbatasan.
Keesokan harinya, Bambang Somantri telah
sampai di istana Magadha, disambut gembira oleh Prabu Citragada. Mereka
berbincang-bincang mengenai ancaman Prabu Darmawisesa, serta lamaran yang
diajukan Prabu Arjuna Sasrabahu.
Kita beralih ke kahyangan. Batara Guru
menyuruh Batara Narada untuk memberitahu Dewi Citrawati tentang lamaran Prabu
Arjuna Sasrabahu. Maka turunlah Batara Narada ke Marcapada, menuju keputren
Dewi Citrawati.
Singkat saja, Batara Narada telah sampai
di hadapan Dewi Citrawati. “Oladalah, cucuku Citrawati. Ketahuilah, sebentar lagi
utusan Prabu Arjuna Sasrabahu datang untuk menyampaikan lamaran Sang Prabu.
Terimalah, ini yang kau tunggu-tunggu, Sang Prabu adalah titisan Batara Wisnu,“
“Baik, terimakasih, Eyang Batara,“ Tak
lama kemudian tampaklah rombongan Bambang Somantri disertai Prabu Citragada.
Prabu Citragada memperkenalkan Bambang Somantri. Lalu, Bambang Somantri
mengutarakan maksudnya. “Terimalah, Yunda. Prabu Arjuna Sasrabahu seorang
titisan Wisnu, yang kau idam-idamkan,“
“Sebaiknya kita lihat dahulu perjuangan
Bambang Somantri ini, Yayi,“
Maka, esok harinya, kedua pihak telah
siap dengan senjatanya masing-masing, menunggu terompet dibunyikan. Di pihak
Magadha ada Narpati Soda, Narpati Suryaketu, dan beberapa narpati lainnya. Di
pihak Widarba telah siap Prabu Sriwindu, Prabu Darmapati, dan raja-raja bawahan
lainnya. TEEEEEEEEET!!! Terompet dibunyikan tanda peperangan dimulai.Kedua
pihak langsung bertempur mati-matian demi membela negaranya. Para narpati dan
raja bawahan dari kedua belah pihak saling bertarung satu lawan satu. Misalnya,
Narpati Kalinggapati melawan Prabu Sriwindu, Narpati Suryaketu melawan Prabu
Darmapati, dan narpati lainnya. Pihak Magadha dan Maespati sangat sukar
dikalahkan.
Pertempuran telah berlangsung selama 3
hari. Sepertinya pihak Widarba agak tertekan. Hari itu Patih Godadarma maju ke
medan perang. Kebetulan ia terlihat oleh Patih Jaya Sembada. Maka tak dapat
dielakkan pertempuran antara keduanya. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya.
Pada suatu kesempatan Patih Godadarma mendapat kesempatan bagus, Sembada sedang
lengah. Maka dipukullah Sembada sampai terjatuh dari kudanya. Namun, Sembada
masih dapat bertahan. Ia berusaha menjatuhkan Patih Godadarma juga. Akhirnya,
Sembada dapat menusuk kuda Godadarma. Godadarma goyah, kaget karena jatuh.
Sembada tak memberi kesempatan, ia langsung mnghantam lagi Patih Widarba
tersebut. Godadarma semakin kewalahan. Akhirnya, pada suatu ketika, Godadarma
tertusuk tombak Sembada, terhuyung-huyung kebelakang, dan mati seketika.
Hari telah semakin sore. Pihak Widarba telah
acak-acakan karena jagoannya telah pada gugur. Akhirnya terompet dibunyikan,
tanda pertempuran harus dihentikan. Berita kematian Patih Godadarma telah
sampai kepada Prabu Darmawisesa. Betapa marahnya ia. “Kalian ini narpati tak
bisa diandalkan, sampai adikku bisa tewas“, Prabu Darmawisesa sampai membentak
para senapatinya, dianggapnya tidak bisa diandalkan. Lalu, dia berniat untuk
mengadakan serangan mendadak ke kemah Magadha. Tetapi, ia ditahan oleh adiknya,
Darmawati. “Kanda Prabu, sabarlah. Ini sudah terlalu malam, tidak mungkin
menyerang. Lebih baik besok saja dilanjutkan“. Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar suara derap langkah asing. Prajurit Widarba segera bersiap siaga,
menghadapi segala kemungkinan. Dari balik semak-semak akhirnya muncul beberapa
prajurit perang.
“Hei, siapa sampeyan?“ Tanya salah
seorang prajurit Widarba.
“Eee, tahan dulu. Kami tak bermaksud
bermusuhan.“
“Lalu siapa kalian?“ Saat itu, datanglah
pemimpin dari mereka. Seorang dengan badan tinggi besar. Wajahnya mirip Prabu
Darmawisesa, namun lebih pendek. Janggut dan kumisnya lebat. Berbusana layaknya
seorang raja. “Mana raja kalian? Kami dari Jonggarba.”
“Oh, Yayi Jonggirupaksa,“
“Kanda Darmawisesa, aku sengaja kemari
untuk memberi bantuan balatentara,”
“Terimakasih atas kebaikan Yayi Prabu.
Sekarang mari kita istirahat, mempersiapkan untuk besok,” Maka, diantarlah
Prabu Jonggirupaksa oleh Prabu Darmawisesa ke dalam kemahnya. Mereka lantas
berunding untuk mengatur siasat perang esok hari. Prajurit sudah tidur semua,
kecuali prajurit yang ditugaskan untuk berjaga-jaga. Hati Prabu Darmawisesa
menjadi optimis dengan datangnya balabantuan dari Jonggarba. Ia yakin akan
memenangi perang esok hari.
Seprti biasa, pagi-pagi para balatentara
dari kedua belah pihak telah mengatur barisan, bersiap untuk berperang. Prabu
Jonggirupaksa belum turun ke medan laga,hanya berdiri di atas bukit,
menyaksikan dari jauh perjuangan anak buahnya. Ia baru mengutus para narpatinya
untuk memimpin setiap pasukan. Sedangkan, Prabu Darmawisesa sendiri juga tidak
turun ke medan perang hari ini. Ia menemani adiknya, melihat dari kejauhan
jalannya oerang hari itu.
Kini, tampak barisan sudah mulai
teratur. Peniup terompet dan penabuh gendang telah bersiap membunyikan alatnya.
Di detik-detik dimulainya perang pada hari ini, para prajurit sudah siap dengan
tombaknya. Pasukan pemanah telah menarik busur kuat-kuat, tinggal melepaskan
saja. Di pihak Widarba tampaknya sedikit lebih kuat dengan adanya balabantuan
dari Jonggarba. TEEEEEEEET!!! Akhirnya terompet kembali dibunyikan untuk
menandai dimulainya peperangan hari ini. Dari kejauhan, Prabu Darmawisesa
melihat barisan dari kedua belah pihak yang lama-lama mendekat dan semakin
mendekat,dan akhirnya kedua pasukan bentrok, terhenti lajunya. Untuk terus
melangkah harus membunuh lawan terlebih dahulu. Kalau tidak membunuh, maka
dialah yang terbunuh. Begitulah perang, siapa yang lengah sedikit saja, bisa
mengakibatkan hal yang fatal. Perang telah memasuki hari ke-4, pihak Widarba
mengalami pertambahan pasukan, yaitu tambahan balatentara dari Jonggarba.
Perang menjadi semakin seru. Namun kekuatan Maespati sangat kuat, dengan pimpinan Patih Suwanda sebagai penentu strategi perang. Hari demi hari korban dari kedua belak pihak makin berjatuhan. Maespati kehilangan beberapa punggawa, juga dari pihak Jonggirupaksa. Namun pihak Jonggirupaksa akhirnya terdesak juga. Suatu ketika Jonggirupaksa terkena panah Cakrabeswara milih Patih Suwanda.
Komentar
Posting Komentar