Keagungan Masjid Raya Al-Munawwar Ternate
Sudut Nusantara memang tak ada habisnya
dijelajahi. Tinggal seberapa jauh kita mau melangkah dan mengeksplorasi lebih
melihat indahnya pelosok. Contohnya Ternate, sebuah kota dan pulau yang
terkenal sebagai ibu kota Maluku Utara. Sekarang ibu kota Maluku Utara sudah berpindah
ke Pulau Halmahera di Sofifi, dan Ternate masih ramai saja, akibat sejarah
panjangnya yang membuat dikenal.
Ternate bisa dijangkau langsung dari Jakarta,
atau transit dahulu di ibu kota Maluku, Ambon. Atau seperti perjalananku,
singgah dulu di Manado, Sulut. Lumayan, menginjak dua zona pulau (Sulawesi dan
Maluku) dan dua keindahan dalam satu perjalanan memelosok. Saat itu belum habis
ramai Natal, jadi Manado agak sepi dan eksplorasi di sana hanya tingkat minor—fokus
berlama di Malut saja. Cukuplah untuk sebuah pengalaman baru. Rumah adat di
Woloan telah menjadi penghibur dari yang tadinya hanya bisa melihat lewat layar
kaca atau internet. Natal di Manado seperti Lebaran di daerah mayoritas muslim,
dan hal ini membuat menarik sekaligus disayangkan.
Menyeberang di suatu jalan di Manado. Menyeberang ke |
***
Pengalaman pertamaku menaiki pesawat
Bombardier CRJ1000, sayapnya agak ke bawah, ada tulisan “Explore-Jet”. Sedikit
lebih besar dari ATR 72-600. Menarik juga..
Ternate, Maluku Utara, kami datang. Hari
pertama tiba di sana sudah cukup sore. Kami memanfaatkan waktu singkat ini
untuk menjelajah singkat sebelum wisata yang sebenarnya, hitung-hitung survei.
Pulau Ternate tidak begitu besar, jadi kami bisa mengelilinginya dalam semalam.
Ada satu yang menarik pandangan, sejak dari atas pesawat: masjid besar
bernuansa hijau-putih. Katanya namanya Masjid Al-Munawwar. Agenda wajib, lah.
Nanti harus lebih dieksplorasi.
Tinggal hal yang bisa dilakukan di malam hari:
kuliner. Tentu, tiap daerah pasti memiliki kulinernya tersendiri, dan
pengalamanku ke beberapa pelosok di timur biasanya banyak ikan. Apalagi wilayah
ini berupa kepulauan dari pulau kecil yang sangat bersinggungan dengan laut,
sudah deh pasti ikan. Maka kuliner menjadi penutup malam pertama ini.
Singkat cerita, hari berikutnya kami perlu
bangun cukup pagi. Mengejar penyeberangan ke Halmahera! Ya, Maluku yang
kepulauan tak cukup puas jika hanya satu pulau yang dijelajahi. Kami menginjak
Halmahera Barat sebagai bagian terdekat karena Ternate berada di sebelah barat
Halmahera. Ibu kota Halmahera Barat adalah Jailolo, kota terkenal hingga
seantero Nusantara dengan Festival Teluk Jailolo-nya. Saat itu masih terasa
bekas-bekas festival, karena memang belum lama festival pada tahun itu
diselenggarakan.
Hamparan kosong tanah Jailolo memacu diri
untuk tertarik mengeksplorasi apa yang sebenarnya ada di tanah ini, katanya
menyimpan surga tersembunyi. Namun tak usah mencari yang tersembunyi dahulu, di
kejauhan namun terlihat jelas di sana terdapat bangunan merah megah. Kubah
atasnya telah menjelaskan segalanya. “Nanti pulangnya kita harus ke sana,
mampir.”
Dekat pelabuhan memang layaknya menjadi ikon
yang terlihat. Ketika itu, bekas penyelenggaraan Festival Jailolo masih
terlihat. Panggung, dan beberapa pernak-pernik yang memperlihatkan meriahnya
festival. Namun sekarang tinggal hamparan kosong, saatnya mencari keindahan
alam! Kami langsung menyewa mobil untuk menjelajah. Mampir sejenak ke warung
makan untuk mengisi persediaan, lalu berlanjut ke beberapa titik indah, diantar
sopir orang asli Halmahera. Ia dari Ibu.
“Ibu tuh apa?”
“Ibu itu Jailolo ke sana lagi,” ooo Ibu itu nama
daerah juga. Ya aku sih sudah tahu, sudah sempat baca nama-nama daerah di
Halbar.
Pantai Bobanehena, ini salah satu pantai yang
terekomendasi dan tak terlalu jauh jangkauan. Menimbang Pulau Halmahera sangat
luas dibanding Ternate, bahkan Halmahera Barat pun luas, dan banyak objek
wisata yang cukup lama untuk menempuhnya. Ada beberapa titik di pantai ini yang
sangat indah dan layak untuk diabadikan. Ternyata pantai ini tidak luas memang,
bukan untuk berbaur dengan pasir. Namun bisalah dilihat pemandangannya.
Akhirnya seharian kami menjelajahi Jailolo
dan tanah Halmahera Barat ini, dan sejenak sebelum kembali ke pelabuhan, kami
mampir ke Sigi Lamo Jailolo. Itu namanya, tertulis besar di depan masjid megah
bernuansa merah ini. Sigi artinya masjid, berasal dari kata masigi,
dan lamo berarti besar.
Terlihat cukup baru dibangun, dan
arsitekturnya mirip dengan Al-Munawwar di pulau tetangga, hanya nuansa warna
saja berbeda. Kami masuk, dan masjid terasa luas, juga karena sepi orang. Sudah
jelas azan Ashar, tetapi tetap saja orang sepi. Kami menunggu hingga Ashar,
salat, dan mengejar perahu kembali ke Ternate.
Seharian keluar pulau pun melelahkan,
akhirnya untuk hari ketiga kami kembali saja ke penginapan dan merencanakan
perjalanan esok hari. Telah mengeksplorasi di luar tujuan utama, saatnya
menjelajah sekeliling pulau ini, kecil namun menyimpan banyak objek.
Akhirnya hari selanjutnya kami mengeksplorasi
Pulau Ternate. Kebanyakan alam, ada juga sejarah, dan tentu tak lupa: religi.
Masjid Raya Al-Munawwar, ikon besar Ternate sekarang. Karena dari atas langit
pun yang terlihat adalah ini. Selain itu yang memiliki nilai sejarah adalah
Masjid Kesultanan Ternate.
***
Ternate, sebuah kota dalam
pulau kecil. Penduduknya tak dahsyat, padat ya tidak. Ada sebuah masigi di
pinggir laut, agungnya terlihat dari angkasa ketika pesawat mengudara. Semoga masigi
ini bisa makmur dengan dimakmurkan oleh jemaahnya, jemaah yang peduli dan
hatinya tertambat kepada masigi.
Komentar
Posting Komentar