Cerita Wayang: Babad Alas Wanamarta

 

Pandawa yang telah hilang dari peradaban Hastinapura ternyata belum mati. Setahun lebih memilih untuk menyembunyikan diri, akhirnya mereka berani menunjukkan diri. Kerajaan Pancala sedang mengadakan sayembara untuk mencari calon suami putri raja, Drupadi. Arjuna yang mulanya berpakaian layaknya brahmana tampil ke depan untuk menunjukkan kemampuan memanahnya, semua orang tercengang. Kurawa yang juga hadir kaget melihat muka itu. Akhirnya Arjuna memberanikan diri menunjukkan identitasnya. Namun malah terjadi pertengkaran kalang kabut di arena pertarungan. Bima juga ikut turun tangan, dan secara tak sengaja menewaskan Arya Gandamana, paman dari Drupadi.

Akhirnya Drupadi dimenangkan oleh Pandawa. Atas kesepakatan, Drupadi akan menjadi istri Yudhistira. Melihat Pandawa masih hidup, Resi Bhisma Dewabrata menyuruhnya untuk datang ke Hastina, ibu Kunti juga ikut.

“Aku sejatinya tak pernah yakin kalian benar telah tiada,” Arya Yama Widura juga ikut senang melihat para Pandawa kembali. Dari awal ia yang paling peka dengan rencana jahat Kurawa untuk memusnahkan Pandawa, dan ia pula yang membantu Pandawa untuk melarikan diri dari malapetaka tersebut.

“Eyang Bhisma, kami mengucapkan terima kasih atas undangannya kemari. Namun saya tak mau gegabah, sekarang takhta sudah dipegang oleh Kanda Duryudhana, saya tak mau mendudukinya lagi jika tanpa persetujuan Kanda Duryudhana.”

“Cucunda, kau sangat berbudi luhur, menghindari konflik dan perseteruan. Ayahmu Pandu pasti bahagia. Baiklah, Eyang akan bicarakan dengan raja kira sekarang dulu, nanti kami kabari lagi. Sementara kalian menetap di pondokku saja dahulu.”

“Baik Eyang, terima kasih.”

 

“Tidak! Sejengkal pun saya tak akan menyerahkannya kepada Pandawa! Mereka telah memalsukan kematiannya, itu bukan perbuatan luhur seorang raja. Secara hukum mereka sudah mati, semua juga tahu itu.”

Duryudhana dan 99 saudaranya selalu ramai ketika diajak berunding. Mereka bagai rombongan demonstrasi yang tak pernah diam. Ditambah hasutan paman mereka Arya Sangkuni yang selalu provokatif dan mengundang sorak sorai seratus orang itu. Kini, mereka tak rela ketika takhta yang sudah mereka pegang akan diberi lagi kepada sepupunya yang lebih muda itu. Sesepuh kerajaan merasa sedih melihat hal tersebut, mereka tak bisa berbuat banyak. Resi Bhisma seperti melihat masa depan Hastina yang suram. Resi Dorna sedih melihat muridnya tak bisa akur, namun karena jabatannya ada di tangan raja Hastina, ia tak banyak bicara.

“Kusarankan kalian harus membuka negara lagi, cucuku. Di wilayah Wanamarta itu strategis, tanahnya cocok dibuka menjadi lahan tempat tinggal dan pertanian. Nanti akan kumarahi dan kutindak lebih lanjut lagi mereka para sepupumu. Sekarang tidak ada harapan lagi dari Kurawa dan Sangkuni, mohon maaf cucuku.”

“Beribu terima kasih, Eyang. Saya pikir tidak perlu memarahi mereka lagi, Eyang. Kami sudah rela dengan begini dan masih diberi kesempatan untuk membuka lahan bahkan mendirikan negara sendiri.”

“Yoy! Kalau begitu langsung saja kita membuka hutan itu,” Bima sudah tak sabaran, ia langsung berlari keluar pondok dan mengarah ke Hutan Wanamarta. Dengan gada Rujapala-nya, ia mulai memukuli pohon demi pohon, dan satu per satu mulai rubuh dan tumbang.

 

“Eee Gusti Prabu, tanah bergetar. Sepertinya ada yang memasuki daerah sekitar kita.”

“Ayo kita periksa. Bawa satu pasukan saja.”

“Siap, Gusti!”

Prabu Arimba adalah raja Pringgandani, seorang raksasa sakti. Ia berbudi luhur, ayahnya adalah Prabu Kala Tremboko, dulu sahabat Prabu Pandu Dewanata namun akibat adu domba keduanya jadi terlibat perkelahian dan Kala Tremboko tewas. Wilayah Pringgandani bersebelahan dengan Wanamarta, dan Bima cukup mengganggu mereka sehingga mereka melaporkannya kepada Arimba.

Arimba bersama pasukannya langsung meninjau tempat perusakan. Mereka melihat seorang bertubuh tinggi besar namun bukan raksasa, tenaganya terlihat cukup kuat. Akhirnya Arimba menyuruh anak buahnya untuk maju duluan. Mereka dilihat oleh Bima, dan terlibat pertarungan. Bima merasa terganggu aktivitasnya dan dengan membabi buta menyerang para raksasa itu, dan langsung bertumbangan. Arimba meraa tidak ada harapan pada anak buahnya, ia pun langsung maju menghadapi Bima.

“Wahai pemuda gagah, siapakah dirimu? Kekuatanmu dahsyat, namun anak buahku jadi gugur semua.”

“Ooo jadi itu anak buahmu? Iya, mereka menggangguku membabat hutan ini.”

“Heh, bagaimana mereka mengganggumu? Kaulah yang merusak hutan ini,” Arimba geram mendengar pernyataan Bima, lalu langsung menyerang Bima. Mereka terlihat setara, dari postur tubuh hingga kekuatannya. Baku pukul yang terjadi belum ada yang membuat lawannya lemah.

Anak buah Arimba kini hanya menonton pertandingan antara dua ksatria kuat ini, sambil terkagum, padahal mereka pula raksasa yang sejatinya dikenal dengan tenaga kuat. Namun dari tadi tiada yang bisa menandingi Bima. Perhatian pertandingan Bima dan Arimba pun makin meluas. Adik Arimba ikut mendatangi keramaian dengan penasaran. Ia cukup kaget melihat kakaknya bertarung dengan sengit. Namun sejenak ia juga terpana dengan lawannya, yang bisa menandingi kakaknya. Kekuatannya luar biasa, juga waajahnya tampan, pikirnya. Lalu ia hanya menunggu dan menonton seperti raksasa lainnya.

 

Bima bentrok dengan Arimba

Pringgandani membantu Pandawa

Amartapura berdiri

Pernikahan Bima dan Arimbi

          Bahagianya keluarga baru Bima dan Arimbi diikuti selesainya pembangunan lingkungan Amartapura. Wilayahnya asri, hutan yang lebat dengan pohon diadaptasi jadi lingkungan yang rindang untuk tinggal orang. Orang-orang Dwaraka yang membantu pembangunan Amartapura sebagian betah dengan suasana lingkungannya, kemudian meminta izin untuk tinggal di Amarta. Prabu Sri Kresna mengizinkan, begitu juga Yudhistira, yang justru sedang mencari warga untuk dipimpinnya.

Komentar