Cerita Wayang: Leluhur Hastina
Bambang
Parikenan, cicit Batara Brahma, dikaruniai anak bernama Raden Manumayasa, hasil
pernikahannya dengan Dewi Brahmaneki. Setelah agak dewasa, Raden Manumayasa
meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengasingkan diri menjadi petapa di
hutan. Setelh diizinkan, Manumayasa pergi ke Rimba Kamyaka. Setelah menemukan
tempat yang cocok, ia mendirikan sebuah bangunan yang akan ia jadikan tempat
untuk bertapa.
Begawan Palasara |
Begitu
juga dengan Bambang Sakri. Ia tinggal di pertapaan tersebut, hingga menikah
dengan Dewi Sati dari Negara Tabelasakti, dan mendapat anak yang diberi nama
Bambang Palasara. Tak berbeda dengan ayah dan kakeknya, ia tinggal dan dididik
di pertapaan tersebut sampai remaja. Sampai suatu saat, ia meminta izin kepada
ayahnya untuk mengembara dan bertapa di tempat lain. Dengan senang hati,
Begawan Sakri memberi izin. Lalu, ia memberikan wejangan yang berguna kepada
Palasara. Ibunya, Dewi Sati, juga memberikan sedikit wejangan kepada Palasara.
Setelah itu, berangkatlah Palasara.
Palasara
berkelana tak tentu tujuannya karena ia tak tahu jalan. Ia ingin mencari tempat
bertapa yang lebih leluasa. Singkat cerita, ia menemukan tempat yang nyaman di suatu
goa di tepi Sungai Yamuna.
Alkisah,
di Negara Wirata, dewasa ini dirajai oleh Prabu Basukesti, cicit dari cucu
Batara Wisnu. Ia menggantikan ayahnya, Prabu Basukeswara, yang telah mangkat.
Ia telah berkali-kali memiliki permaisuri, namun selalu wafat sebelum mereka
dikaruniai anak. Hal tersebut membuat jenuh Prabu Basukesti. Ia khawatir, di
usianya yang semakin tua, ia belum juga memiliki putra mahkota.
Bentuk wayang kulit Prabu Basukesti |
Tak butuh waktu
lama, Prabu Basukesti telah berada di tepi Sungai Yamuna. Ia memandangi
pemandangan di sekitarnya. Cukup lama ia menunggu, tetapi belum juga menemukan
petunjuk yang berarti. Dari beberapa saat yang lalu, ia hanya berdiri melongo,
menunggu petunjuk lain. Tiba-tiba, ia merasa ingin kencing. Ia lalu kencing di
sungai. Nmun, ternyata
yang keluar adalah air maninya,
dan sebagian ada yang
menempel di daun. Lalu, daun itu dipetik, lantas dibuang ke sungai. Ia terus
memperhatikan jalannya daun tersebut menikuti aliran sungai, hingga ia melihat daun
tersebut dimakan oleh seekor ikan. Otak Sang Prabu yang cerdas berpikir bahwa
mungkin inilah petunjuk dari Dewata. Lantas Sang Prabu kembali pulang ke istana.
Berbulan-bulan
sang Prabu menunggu petunjuk selanjutnya dari Dewata perihal anaknya tersebut.
Sampai suatu hari, seorang tukang rakit yang tinggal di tepi sungai Yamuna,
Dasabala namanya, melihat seekor ikan terdampar di daratan. Tenyata, ikan
tersebut hamil dan sebentar lagi akan melahirkan. Dasabala terus memperhatikan
gerak-gerik si ikan sampai si ikan melahirkan. Namun, betapa terkejutnya ketika
ia melihat si ikan melahirkan, karena ternyata si ikan melahirkan dua bayi manusia,
laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi saat ikan tersebut berubah menjadi
seorang bidadari. Bidadari itu berbicara, “Hai Dasabala, bawala bayiku ini
kepada Prabu Basukesti di Wirata. Pada kemudian hari, yang laki-laki akan
menggantikan Sang Prabu menjadi araja, sedangkan yang perempuan akan menurunkan
orang-orang penting, yaitu raja-raja yang perkasa.”
Maka dibawalah
kedua bayi tersebut ke istana Wirata sesuai petunjuk bidadari tadi. Begitu
sampai di istana Wirata ia langsung menyerahkan bayi tersebut kepada Sang Prabu
dan menyampaikan ramalan bidadari tadi yang berarti adalah istri Sang Prabu.
“Saya mengucapkan terimakasih atas bantuanmu, Dasabala,” tutur Sang Prabu. Setelah memberikan upah yang sepadan kepada Dasabala, Prabu Basukesti mempersilahkan Dasabala untuk kembali ke tempat tinggalnya.
“Saya mengucapkan terimakasih atas bantuanmu, Dasabala,” tutur Sang Prabu. Setelah memberikan upah yang sepadan kepada Dasabala, Prabu Basukesti mempersilahkan Dasabala untuk kembali ke tempat tinggalnya.
Selanjutnya,
kedua bayi tersebut diberi nama. Yang laki-laki diberi nama Durgandana, dan
yang perempuan diberi nama Durgandani. Mereka dirawat dan dididik oleh Sang
Prabu dan permaisurinya dengan kasih sayang yang baik, sehingga mereka menjelma
menjadi pemuda-pemudi yang cakap dan terampil. Durgandana tumbuh menjadi pemuda
yang tampan dan sakti. Ia juga mendapat sebutan Matswapati. Durgandani pun
tumbuh menjadi pemudi yang sangat cantik. Namun, tubuhnya berbau amis,
menurunkan sifat ikan yang melahirkannya. Tak heran jika Durgandani lebih
sering mengurung dirinya di kamar di keputren.
Setelah
bertahun-tahun bau amis tubuhnya tetap tidak hilang. Sang Putri Durgandani
sudah tidak tahan lagi dengan penderitaannya. Akhirnya, Dewata memberikan
petunjuk. Pada suatu malam, Sang Putri mendapat ilapat dari Dewata. Paginya, ia
keluar keputren, menemui orangtuanya dan menceritakan perihal ilapatnya
semalam. Prabu Basukesti dan permaisurinya agak terkejut dan gembira ketika
melihat anak perempuannya keluar keputren. “Ada apa, putriku? Kok tumben kau
keluar keputren?”
“Rama Prabu,
semalam saya mendapat ilapat dari Dewata. Saya disuruh pergi ke tepi Sungai
Yamuna dan menemui seorang tukang rakit bernama Dasabala. Saya disuruh tinggal
di tempat Dasabala hingga datang seseorang yang mampu menyembuhkan penyakit
saya ini.”
“Oh, Dasabala si
tukang rakit?! Baiklah, putriku, pergilah, semoga penyakitmu cepat sembuh.”
“Baik, Rama dan
Ibu, saya mohon pamit.”
Berlanjut...
Komentar
Posting Komentar