Cerita Wayang: Leluhur Hastina




            Bambang Parikenan, cicit Batara Brahma, dikaruniai anak bernama Raden Manumayasa, hasil pernikahannya dengan Dewi Brahmaneki. Setelah agak dewasa, Raden Manumayasa meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengasingkan diri menjadi petapa di hutan. Setelh diizinkan, Manumayasa pergi ke Rimba Kamyaka. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia mendirikan sebuah bangunan yang akan ia jadikan tempat untuk bertapa.
Begawan Palasara
            Setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadilah pertapaan itu, dan diberi nama Pertapaan Sapta Arga. Ia bertapa dengan keras selama bertahun-tahun di sana. Sesekali ia keluar, hingga suatu ketika, ia bertemu seorang wanita, dan wanita tersebut dijadikan istrinya. Setelah beberapa bulan, mereka dikaruniai anak laki-laki dan diberi nama Bambang Sakutrem. Mereka terus tinggal di sana hingga Sakutrem dewasa sampai ia menikah dan mempunyai anak. Anak Sakutrem diberi nama Bambang Sakri.
            Begitu juga dengan Bambang Sakri. Ia tinggal di pertapaan tersebut, hingga menikah dengan Dewi Sati dari Negara Tabelasakti, dan mendapat anak yang diberi nama Bambang Palasara. Tak berbeda dengan ayah dan kakeknya, ia tinggal dan dididik di pertapaan tersebut sampai remaja. Sampai suatu saat, ia meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara dan bertapa di tempat lain. Dengan senang hati, Begawan Sakri memberi izin. Lalu, ia memberikan wejangan yang berguna kepada Palasara. Ibunya, Dewi Sati, juga memberikan sedikit wejangan kepada Palasara. Setelah itu, berangkatlah Palasara.
            Palasara berkelana tak tentu tujuannya karena ia tak tahu jalan. Ia ingin mencari tempat bertapa yang lebih leluasa. Singkat cerita, ia menemukan tempat yang nyaman di suatu goa di tepi Sungai Yamuna.
            Alkisah, di Negara Wirata, dewasa ini dirajai oleh Prabu Basukesti, cicit dari cucu Batara Wisnu. Ia menggantikan ayahnya, Prabu Basukeswara, yang telah mangkat. Ia telah berkali-kali memiliki permaisuri, namun selalu wafat sebelum mereka dikaruniai anak. Hal tersebut membuat jenuh Prabu Basukesti. Ia khawatir, di usianya yang semakin tua, ia belum juga memiliki putra mahkota.
Bentuk wayang kulit Prabu Basukesti
Suatu hari, Prabu Basukesti ingin pergi berburu, sekedar untuk melampiaskan kejenuhan, sekalian kalau beruntung mendapat istri lagi. Suatu ketika, di hutan, ia mendapat ilapat bahwa jika ia mau mempunyai anak maka ia harus pergi ke Sungai Yamuna.
Tak butuh waktu lama, Prabu Basukesti telah berada di tepi Sungai Yamuna. Ia memandangi pemandangan di sekitarnya. Cukup lama ia menunggu, tetapi belum juga menemukan petunjuk yang berarti. Dari beberapa saat yang lalu, ia hanya berdiri melongo, menunggu petunjuk lain. Tiba-tiba, ia merasa ingin kencing. Ia lalu kencing di sungai. Nmun, ternyata yang keluar adalah air maninya, dan sebagian ada yang menempel di daun. Lalu, daun itu dipetik, lantas dibuang ke sungai. Ia terus memperhatikan jalannya daun tersebut menikuti aliran sungai, hingga ia melihat daun tersebut dimakan oleh seekor ikan. Otak Sang Prabu yang cerdas berpikir bahwa mungkin inilah petunjuk dari Dewata. Lantas Sang Prabu kembali pulang ke istana.
           


Berbulan-bulan sang Prabu menunggu petunjuk selanjutnya dari Dewata perihal anaknya tersebut. Sampai suatu hari, seorang tukang rakit yang tinggal di tepi sungai Yamuna, Dasabala namanya, melihat seekor ikan terdampar di daratan. Tenyata, ikan tersebut hamil dan sebentar lagi akan melahirkan. Dasabala terus memperhatikan gerak-gerik si ikan sampai si ikan melahirkan. Namun, betapa terkejutnya ketika ia melihat si ikan melahirkan, karena ternyata si ikan melahirkan dua bayi manusia, laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi saat ikan tersebut berubah menjadi seorang bidadari. Bidadari itu berbicara, “Hai Dasabala, bawala bayiku ini kepada Prabu Basukesti di Wirata. Pada kemudian hari, yang laki-laki akan menggantikan Sang Prabu menjadi araja, sedangkan yang perempuan akan menurunkan orang-orang penting, yaitu raja-raja yang perkasa.”
            Maka dibawalah kedua bayi tersebut ke istana Wirata sesuai petunjuk bidadari tadi. Begitu sampai di istana Wirata ia langsung menyerahkan bayi tersebut kepada Sang Prabu dan menyampaikan ramalan bidadari tadi yang berarti adalah istri Sang Prabu.
“Saya mengucapkan terimakasih atas bantuanmu, Dasabala,” tutur Sang Prabu. Setelah memberikan upah yang sepadan kepada Dasabala, Prabu Basukesti mempersilahkan Dasabala untuk kembali ke tempat tinggalnya.
            Selanjutnya, kedua bayi tersebut diberi nama. Yang laki-laki diberi nama Durgandana, dan yang perempuan diberi nama Durgandani. Mereka dirawat dan dididik oleh Sang Prabu dan permaisurinya dengan kasih sayang yang baik, sehingga mereka menjelma menjadi pemuda-pemudi yang cakap dan terampil. Durgandana tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sakti. Ia juga mendapat sebutan Matswapati. Durgandani pun tumbuh menjadi pemudi yang sangat cantik. Namun, tubuhnya berbau amis, menurunkan sifat ikan yang melahirkannya. Tak heran jika Durgandani lebih sering mengurung dirinya di kamar di keputren.
            Setelah bertahun-tahun bau amis tubuhnya tetap tidak hilang. Sang Putri Durgandani sudah tidak tahan lagi dengan penderitaannya. Akhirnya, Dewata memberikan petunjuk. Pada suatu malam, Sang Putri mendapat ilapat dari Dewata. Paginya, ia keluar keputren, menemui orangtuanya dan menceritakan perihal ilapatnya semalam. Prabu Basukesti dan permaisurinya agak terkejut dan gembira ketika melihat anak perempuannya keluar keputren. “Ada apa, putriku? Kok tumben kau keluar keputren?”
“Rama Prabu, semalam saya mendapat ilapat dari Dewata. Saya disuruh pergi ke tepi Sungai Yamuna dan menemui seorang tukang rakit bernama Dasabala. Saya disuruh tinggal di tempat Dasabala hingga datang seseorang yang mampu menyembuhkan penyakit saya ini.”
“Oh, Dasabala si tukang rakit?! Baiklah, putriku, pergilah, semoga penyakitmu cepat sembuh.”
“Baik, Rama dan Ibu, saya mohon pamit.”

Berlanjut...

Komentar