Nuhu Evav, Menelisik Pedalaman yang Indah



Tak perlu jauh-jauh melancong untuk mendapatkan keindahan. Walaupun mungkin secara jarak lebih jauh daripada melancong ke luar negeri dan bisa jadi biaya lebih tinggi, namun sejauh-jauhnya perjalanan dari Sabang sampai Merauke sekalipun, terasa dekat karena kita Indonesia. Jauhlah rasa dalam hati jika berada di negeri orang.
Nuhu Evav, begitu orang setempat menyebutnya. Kepulauan Kei. Untuk menjangkaunya harus terlebih dahulu ke ibukota Maluku, Ambon, dan berlanjut dengan pesawat kecil ke bandara di Langgur, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara. Memang tak salah sepertinya ada orang yang bilang Indonesia semakin ke timur makin indah. Walau tidak juga, ya namanya Indonesia seluruhnya adalah bocoran surga. Ini salah satu bocoran tersebut, di pelosok negeri, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.
Tiga jam perjalanan dengan maskapai Garuda Indonesia, diriku mengisi sisa hari libur untuk memelosok kembali ke bagian indah di tanah air tercinta ini, kali ini ingin menambah provinsi baru yang belum kukunjungi: Maluku. Bersama Daeng, juga nanti kakak sepupu akan bergabung. Hari pertama tak banyak yang bisa dilakukan, hanya wisata dalam kota. Masjid Raya Al-Falah sangat megah, berdiri kemudian, di samping Masjid Jami' Ambon yang telah dibangun lebih dulu. Uniknya kedua masjid ini mempunyai jemaah. Satu masjid pun belum tentu penuh jemaah pada waktu-waktu salat. Memang di akhir zaman ini orang berlomba membangun masjid yang megah, mungkin. Semoga kemakmuran tetap diperjuangkan.
“Kalo mau jalan ke mana bisa hubungi saya, Petra Malori.”
“Terima kasih, Kaka,” seorang tukang becak mengantar kami ke Al-Falah.


Wisata kota selain ke masjid (kewajiban bagi penyuka wisata religi), pastinya alun-alun, yang biasanya berada di dekat Balaikota. Cukup luas, alun-alun Kota Ambon, dengan tulisan "Ambon Manise" yang besar di pinggir lapangan alun-alun, dan Ambon merupakan ibu kota Maluku, maka kantor Gubernur Maluku, di sebelah Balaikota.
Sore hari pertama, masih berdua, sepupu baru datang esok hari. Kami mencoba kuliner sederhana di kota, berada di dekat pelabuhan, maka menyempatkan melihat pelabuhan juga. Menunggu matahari terbenam di kota lain memang berbeda rasanya, karena pemandangan yang berbeda. Baik, malam hari pertama ditutup dengan melihat Masjid Raya Al-Falah yang bercahaya lampu di malam hari, cukup menambah keindahan dan kemegahannya di malam hari. Lalu kami kembali ke hotel.
Pagi, matahari terbit pertama yang kulihat di kota musik ini. Kami harus pagi memulai hari, supaya banyak yang bisa ditempuh. Beruntung anak pemilik hotel sudah cukup kenal, dan bersedia memandu perjalanan kami, setidaknya kepenuhan hari pertama ini. Baik, target pertama di hari pertama adalah pantai. Beberapa pantai sudah dicari melalui internet yang terekomendasi, lalu kami diskusikan untuk dicari rute terbaiknya, karena Pulau Ambon ini tidak dekat dari ujung ke ujung, sedangkan memang keindahan terbentang dari ujung ke ujung.
Sepanjang perjalanan kami melewati banyak spot indah, dan sebagai pengejar fotografi indah, kami beberapa kali harus berhenti, karena ada yang tidak boleh dilewatkan. Ada hutan bakau hingga bumi perkemahan! Ya, ada Bumi Perkemahan Lorihua di sini, dikelola oleh Pusdiklatda Maluku. Lumayan luasnya untuk berkemah, tentunya. Senang bisa melihat jejak kepanduan di tanah lain.

***

Kota Ambon dinobatkan sebagai salah satu kota paling toleran di Indonesia. Ternyata sejak konflik tahun 1999, perubahan dinamika masyarakat untuk kembali kepada kesadaran rukun cukup cepat, dan memang daerah dengan interaksi antaragama yang berbeda yang tinggi jika disikapi masyarakat dengan benar maka akan menciptakan daerah yang toleran. Warga tidak sungkan memperkenalkan identitas agama mereka, tentunya dengan harapan mengetahui perbedaan akan meningkatkan simpati dan toleransi. Pemandu perjalanan kami hari ini yang merupakan putri pemilik hotel adalah penganut Kristen, dan kami diceritakan cukup banyak mengenai kehidupan beragama dan antaragama di Ambon. Cukup menarik bagi pengamat agama.
Kak Shinta, putri pemilik hotel, menyopiri kami. Tentu dia akan tahu kamu muslim karena akan berhenti salat di tengah perjalanan. Wisata religi dapat tetap berjalan, kami melewati Masjid Besar Hila di Hila, salah satu masjid populer di pulau ini. Penampakannya bagus. Di dalam bangunan masjid terdapat 3 foto masjid ini yang berbeda dari masa ke masa, perkembangan renovasi. Tampakan yang sekarang seperti belum lama direnovasi. Waktu Zhuhur sudah masuk, kami salat Zhuhur. Singkat saja, di daerah Hila juga menarik untuk dilihat kebudayaannya. Beberapa rumah warga masih mencerminkan tradisi setempat, kami sejenak mengambil gambar.
Destinasi selanjutnya yang tak boleh dilewatkan: Benteng Amsterdam. Cukup jauh dari Hila, dan memang ternyata menghabiskan waktu juga, maka dari itu tidak boleh disia-siakan. Sebenarnya ada beberapa pilihan untuk mengunjungi tempat, dan kadang memilih yang satu akan meninggalkan yang lain karena lokasinya yang berjauhan. Akhirnya kami memilih ke Amsterdam, liat saja tampakannya. Sesampai di lokasi, ternyata Benteng Amsterdam cukup sederhana, dengan panorama pinggir pantai yang tak kalah indah dengan titik pantai yang lebih populer seperti Natsepa. Tak terlalu lama di benteng, akhirnya kami kembali mencari objek. Ada tulisan "Ambon City of Music" di suatu sudut, seperti pada alun-alun. Agak bingung deng penempatan tulisan besar ini di pinggir (mungkin maksudnya agar terlihat dari seberang), karena naluri wisatawan yang ingin mengambil gambar tidak akan tersalurkan, sedangkan tulisannya mengarah ke air dengan lokasi tulisan ini di pinggir.
Hari semakin sore. Sore ini sepupuku tiba. Kami diberi tahu juga bahwa ada objek indah yang bisa dimanfaatkan di dekat bandara. Sambil menunggu pesawatnya mendarat dan momen matahari terbenam. Dahsyat! Inilah bedanya bandara di daerah, dibandingkan kota besar, mana ada pesawat mendarat bisa dilihat dari dekat. Singkat, akhirnya sepupuku sampai, dan kami melanjutkan hari dengan makan malam bersama, karena hari sudah semakin gelap.
“Ih kalian mau ke Kei?!” Iri Kaka Shinta.
“Iya sudah tidak sabar ini,” Daeng menimpali.
“Aku aja belum pernah lho ke Kei.. Bagus banget itu,” Kaka Shinta bersama kami hanya sampai sini saja, selanjutnya perjalanan berbeda lagi. Kami makan malam terakhir dalam suasana musik Ayo Mama.

***

Akhirnya kami menginjakkan kaki di Pulau Kei Kecil. Pakai pesawat favoritku, ATR 72-600 yang ada tulisan Explore-nya, hehe.. Sampai di bandara, ada suasana yang berbeda, sepertinya udara makin segar, panorama natural lebih banyak, dan orang-orang lebih jarang.
Alamnya tak terlalu rimbun, panoramanya lebih banyak pepohonan yang tak mendominasi. Namun jalan pun belum banyak, hanya terlihat satu jalan utama seperti yang kami lalui. Kami menuju hotel dulu untuk mempersiakan esok hari menjelajah.
Bersama orang Bugis Sinjai kami dibawa jalan-jalan. Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan terlebih dahulu ke kawasan Pulau Bair. Itu katanya surga, disetarakan dengan Raja Ampat di Papua Barat. Pikirku, mengapa di awal sudah yang paling keren? Taip, tak apa juga lah, intinya kan bisa dijelajah semua. Akhirnya kami ke pinggir pantai untuk naik perahu. Ternyata daerah situ juga wilayahnya orang Bugis, jadi lumayan kami dapat diskon, ada Daeng dan Sang Pemandu.
Sebelum berlayar, di situlah aku pertama kali disuguhi kopi, dengan susu. Sebelumnya kan sangat tidak, ternyata tak buruk juga. Kemudian kami bersiap, badan, bawaan, dan dokumentasi.


Itulah dahsyatnya Kei! Pulau Bair saja menghabiskan waktu setengah hari, dan anak-anak pelosok yang sangat ramah dan semangat tak akan terlupakan. Kemudian untuk jelajah sore kami mencari pantai lagi untuk dinikmati hingga matahari terbenam.
Namanya Kei yang menarik dipelajari yaitu Larwul Ngabal-nya, tetapi ternyata di sini banyak juga pendatang. Itu juga masih terlihat jarang penduduk, sejauh kami melihat banyak hamparan tanah yang masih suci dengan hijaunya. Bahkan untuk pariwisata tempat ini belum banyak ditunjang. Tapi sejauh eksplorasiku, ini yang terbaik.

Sedikit keindahan di pinggir restoran, kemampuan dari kamera yang hampir sekarat.

Akhirnya kembali ke Ambon dan Jakarta, meninggalkan alam yang indah, berhasil mengambil banyak imaji dari pelosok indah Nusantara.
 

Komentar