Toba dan Samosir
Pulo Samosir do haroroan hu
Samosir do
I do asal hu saitong ingoton
hu saleleng ngolun ho hu puji ho
Horas! Orang awam tahu Danau Toba
sebagai danau terluas di Indonesia, diajarkan di sekolah juga. Tao Toba kalau
kata orang Batak. Mungkin awam juga tahu bahwa saking luasnya danau itu, di
tengahnya bisa terbentuk pulau juga, namanya Samosir. Masyarakat kesukuannya
sama, tetap masyarakat Batak. Kalau dari rumpun mungkin ya Batak Toba, sub
terbanyak suku Batak. Bahkan seringkali subsuku lainnya tidak disebut Batak,
melainkan Karo, Angkola, atau Mandailing. Toba yang paling mengaku, ‘saya
Batak’, atau ‘saya bicara bahasa Batak’, bukan ‘bahasa Toba’ sebagaimana ‘saya
Karo, berbahasa Karo’.
Aku pertama kali melihat
pinggiran Danau Toba terhalang balutan kabut. Tetapi genangan air yang luas itu
sangat terlihat megah. Tak terlalu mengecewakan karena tidak sempat melihat
lebih jauh Danau Toba, karena sudah cukup mengeksplor sekitarnya. Kala itu aku
berada di bagian Kabupaten Karo, habis menjelajahi Berastagi, yang konon adalah
beras yang tak bisa dimasak jadi nasi.
Aku bermain bola di tengah
lapangan bersama keluargaku. Katanya dulu aku begitu bersemangat. Walau
sekarang tak banyak yang kuingat dari tempat itu, terutama namanya. Kalau tidak
salah, harusnya tempat itu adalah Bukit Kubu. Sebuah rerumputan luas untuk
wisata, termasuk dalam kompleks hotel. Namun nyamannya tempat itu tak
terlupakan walaupun waktu itu aku masih berusia 7 tahun. Dan di salah satu
sudut ada rumah adat Batak Karo, itu juga yang kuingat karena ada fotonya.
Danau Toba dikelilingi oleh
tujuh kabupaten, selain Pulau Samosir yang sekarang menjadi kabupaten
tersendiri. Ini membuat pariwisata di tujuh kabupaten tersebut pada akhirnya
kembali ke Danau Toba. Bukan berarti tidak ada yang lainnya.
***
“Bujur, Pak.”
“Wah, kamu bisa bahasa
Karo?”
“Telat ya Pak belajarnya...”
Ya sudah sih kan masih
sebelahan gedung juga, tapi memang aku merasa telat. Beliau guru favoritku,
sudah kukagumi sejak awal masuk SMP. Ternyata beliau dilahirkan di Berastagi!
Tiap kali curriculum vitae-nya dibacakan, aku selalu langsung ingat
lapangan luas masa kecil. Tapi tidak juga, sejak mengenal beliau, gambaran
orang Karo, orang Berastagi, ya Pak Ucok ini. Sepanjang tiga tahun perjalanan
hanya berkesempatan satu tahun diajar olehnya. Gaya kelasnya berada di
pelataran masjid, tak perlu di ruang kelas seperti umumnya. Sedangkan pembicaraan
kami mengenai ke-Batak-an justru baru dimulai ketika aku sudah hendak lulus.
Namun aku punya teman
kenalan pertama di SMP. Kami sekelompok saat LFSD (MOS). Baru kedapatan sekelas
saat kelas 9, di SMA kami tiga tahun sekelas. Dia anak boru Lubis, Batak
Mandailing. Ya berarti dia bukan Batak lagi secara marga, tetapi ada darah.
Dalam beberapa pembicaraan, justru aku yang memberitahunya soal budaya Batak
yang menarik.
Baron menjadi salah satu
sahabat seperjuangan, karena kami selalu sekelas di SMA. Teman yang seru, yang
sering mendukung dan sepakat, kadang juga sok memberontak dengan pendapatku.
Tetapi semua itu diakhiri dengan humor dan refleksi tentang keetnisan. Tak
hanya Batak, bahkan dia menjadi teman interaksiku soal Indonesia Timur, saat
aku sedang semangatnya belajar budaya lain dan ber-Timur ria.
“Jabat bukan marga.. Tapi,
Jawa-Batak.”
“Ooo peranakan!” Ada video duo
stand-up comedy Jawa-Batak. Aku mendapatkannya dari grup WA, kemudian
mencari lebih lengkap di YouTube. Pas sekali bagi kami, dengan aku Jawa dan dia
Batak. Kami sampai menghafal percakapan dalam video itu dan menjadi candaan
yang tak pernah bosan. Teman lain ada yang paham ada yang tidak.
Pada pelulusan SMA atau
wisuda, aku memakai jas dengan corak etnik Batak. Tak banyak yang memahami
keetnisan sehingga ada sorakan Wakanda-isme. Tapi Baron memahami, selain
kuberitahu juga bahwa ini corak Batak. Kami berfoto untuk menandai perjalanan
enam tahun di rumah kedua ini, karena kami akan berpisah jarak kali ini.
Mungkin kapan-kapan aku benar bisa berkunjung ke Hutagodang, kampungnya di
Mandailing Natal.
***
Kunjungan singkat mendadak
ini berbeda dari yang pernah kurasakan. Ternyata inilah Bandara Silangit, arsitekturnya
terdapat khas Batak yang juga dimodernisasi. Sekarang pun masih dalam proses
renovasi lagi. Kata Bapak, kami akan mengunjungi beberapa tempat. Makin banyak
pula eksplorasi daerahku.
Tunggu bah, sebelum ke
Silangit kami terbang dari Soekarno-Hatta. Menaiki pesawat Garuda yang ada
tulisan Explore-Jet, aku kangen juga sudah lama tak membaca itu, tanda aku
sudah lama tidak mengeksplor. Inipun masih 10 hari sebelum wisuda memakai jas
Batak di atas. Nah, kemegahan Terminal 3 menjadi hiburan pagi yang mendadak ini
juga. Tak perlu dipikir banyak pokoknya tahu-tahu sudah di Silangit, dan kami
siap mengeksplor! Pertama Siborong-borong tentunya. Kami langsung melihat
panorama Danau Toba, ke Hutaginjang. Pemandangannya luas indah.
Aku tak pernah benar-benar
mengeksplorasi tanah Batak seperti ini. Kebiasaanku ketika begini adalah
melihat-lihat kelayakan pariwisatanya, untuk nanti bagaimana akan kuceritakan
seperti di tulisan ini. Untuk suvenir oleh-oleh, kami menemukan toko Toba Art
di sebelah Pizza Andaliman, desain kausnya bagus-bagus! Dan yang paling paten,
T.B. Silalahi Center! Di situ ada Museum Batak, dengan bangunan yang keren dan
koleksi budaya Batak yang bermacam-macam. Bapak saya menemukan Batak sebagai
suku yang berperadaban tinggi juga setelah melihat-lihat peradaban Batak di
sini.
Kemudian Parapat, merupakan
tempat yang tak boleh jadi underrated karena di sini ada tempat Soekarno
pernah bersinggah, dan yang belum lama Jokowi pernah singgah dan tinggal di
salah satu hotel. Dari Parapat juga bisa melihat panorama Tao Toba, tapi kami
mengeksplor saja tempat singgah Soekarno dengan hal menariknya.
Tak lama, kami pulang. Ini
jelajah singkat, hanya mengekor Bapak, namun memberikan pendalaman yang berarti
juga. Saat itu sama sekali tak terpikir aku akan kembali ke sana beberapa bulan
kemudian. Yang jelas, ada nasihat leluhur Batak. Hamoraon, hagabeon,
hasangapon, dan aku melantunkan Alusi Au dengan seksama, hahaha..
Iya, carilah rezeki dan keberuntungan, kesempurnaan hidup, serta kehormatan.
Itu salah satu yang didapat dari Museum Batak.
Penjelasan tentang tiap
subsuku Batak sudah kuabadikan di foto. Lengkap, Simalungun, Pakpak, Angkola,
dan tiga yang sudah agak kutahu, Mandailing, Karo, dan Toba. Dan beberapa bulan
kemudian yang dimaksud itu menjadi pertama kali aku bisa memutuskan untuk
kembali ke suatu daerah yang sudah pernah kukunjungi. Jarang-jarang, karena
biasanya aku pasti lebih memilih menjelajahi daerah baru.
***
Bersama marga Tambunan dan
marga Sembiring, aku menonton film Batak itu. Kukira bakal ada teman lain yang
ingin ikut, tapi akhirnya ber-4 tak apa lah. Iya teman-temanku subur sekali
yang orang Batak, heheh.. Naik bus ke lokasi, mereka menunggu kami yang muslim
salat dulu di masjid. Kebetulan itu juga saat Ramadhan, jadi kami sekalian
makan besar buka puasa dulu. Masih ada cukup waktu hingga berlangsungnya film.
Mengingat kembali beberapa
tahun lalu ada opera Batak, kutonton bersama keluarga. Sepertinya itu wilayah
kalangan Batak untuk terhibur. Bukan tidak, ya karena pasti banyak isinya
dikomunikasikan dengan bahasa Batak. Walau ternyata tidak juga, orang bukan
Batak juga masih bisa memahaminya. Itu sangat bagus.
Film Batak termasuk yang
bisa masuk pasaran bioskop, walaupun penggemarnya pasti berkisar di kalangan
Batak, ya itu juga menandakan orang Batak itu signifikan banyaknya. Dulu aku
juga pernah menonton film Batak di bioskop, bercerita tentang perantauan dua
orang sahabat ke Jakarta, yang bernasib beda. Baiklah, sepanjang film ini, aku
bangga juga bisa tertawa dan menikmati filmnya, bisa paham lelucon bahasa Batak,
haha. Dan di akhir, ternyata ceritanya masih berlanjut, itu membuat kami
penasaran. Tapi mungkin masih agak lama kelanjutannya. Biarlah, intinya sudah
ada kesan dan senang menonton film Batak langsung bersama society-nya,
haha.
“Hayo apa lagi.. Marga dari
T! Tampubolon loh..”
“Eh iya masa aku malah lupa
marga mamaku!” Haha seru juga bermain kuis mendadak nama-nama marga. Sejak kulihat
Tarombo Batak di Museum Batak, tampaknya rumit juga, ya lumayan banyak yang
sudah kutahu. Banyak yang berawalan huruf S, seperti Situmorang, Simanjuntak; T
seperti Tambunan, Tampubolon.
Aku sampai bawa kamus Batak
Toba – Indonesia untuk melanjutkan belajar bahasa Batak Toba, dan langsung bisa
dipraktikkan karena banyak komunikannya. Yang tak kalah penting juga, harusnya
makin banyak yang bisa ditemui jika ke tanah Batak lagi. O Tano Batak
hahololangku…
“Kalau dari Sibolga
bilanglah dari Sibolga. Emang tuh temen-temen pada bilang dari Medan. Orang
harus tahu dong.”
***
Batak menjadi etnis yang
berpengaruh kepada diriku. Itu yang membuat diriku bisa memilih ke Tobasa saja
pada awal tahun ini. Sekalian ke tepi Tao Toba, sekalian melihat Siborong-borong
yang sedang populer itu. Mungkin belum juga sempat ke Samosir. Tapi aku makin
kenal orangnya, masyarakatnya, suasananya. Benar ya, ketimbang mendekat ke
komunikan, orang Batak memilih untuk berteriak menyampaikan omongannya. Itu
berlaku hingga orang yang tak muda lagi bahkan. Aku sempat berada di
tengah-tengah dua orang yang saling berteriak dalam berkomunikasi, karena
jaraknya jauh.
Komunitas Batak besar di
Indonesia. Banyak nama besar yang dikenal Batak, karena identitas marganya.
Bagiku menarik, beberapa orang bermarga bisa kudengar dari teman-teman SD
hingga SMA-ku. Namun, ketika berkunjung langsung ke tempat asalnya, aku
menemukan satu kumpulan orang yang bermarga semua! Iya maksudnya baru kali ini
aku berada dalam kumpulan orang Batak di Tano Batak. Kristen ada, muslim pun
ada. Batak pun mengenal Parmalim sebagai kepercayaan tradisional. Toba, Karo,
Simalungun, Pakpak, Angkola, Mandailing, semua punya ciri-ciri masing-masing.
Orang mesti tahu itu, kebudayaan ini dalam. Walau tak ada dasar (bottom)
dalam kebudayaan, kita tak akan pernah merasa sudah mencapai bagian terdalam
dari kebudayaan.
Paten, tepi Tao Toba benar ada!
Bahkan airnya bisa disentuh, itu bagian dari kemegahan luasnya Toba yang
populer itu. Tapi bukan itu intinya. Aku bersama Simangunsong, Sihura, hingga
Sitorus pada malam hari. Berbantalkan awan, berselimutkan bintang, setidaknya
itu kata beberapa orang ketika bersantai menunggu senja berakhir. Orang Batak
itu menyenangkan, aku langsung mengikuti logatnya. Tano Batak bukan tak indah,
apalagi kebudayaannya, dahsyat! Dan perihal ke-Batak-an, aku selalu
nyanyi-nyanyi! Tao Toba sudah beberapa kali, ke Samosir lain kali ya..!!
Alogo na mangullus di topi
ni Tao Toba
Komentar
Posting Komentar