Festival Puncak Papua
Cerita dari tanah
Papua. Kehangatan di tanah Papua. Setidaknya itu yang tertulis di feed awal
akun Instagram Festival Puncak Papua. Ya memang tulisan ini akan menjelaskan
tentang Festival Puncak Papua, sebuah inisiasi besar setahun yang lalu untuk
melihat ke Timur, berkontribusi untuk masyarakat Papua.
Sebagian Papua yang
dimaksud—dari luasnya Pulau Papua, ialah Kabupaten Pegunungan Bintang.
Penyelenggaranya adalah Indonesia Mengajar dan Wanadri, dua komunitas yang
punya pengalaman masing-masing di Papua. Wanadri mendaki gunung, dan Papua
adalah tempat pendakian paling agung di Indonesia, Puncak Cartenz berada di
Papua. Sedangkan Indonesia Mengajar, adalah penempat Pengajar Muda di Kabupaten
Pegunungan Bintang.
Interaksi masyarakat
di timur Indonesia. Bentuk kolaborasinya adalah pendakian, live-in, dan
festival budaya. Awal 2018, atau akhir 2017, menjadi awal persiapan. Pendakian
juga dibuka bagi pegiat di luar Wanadri, untuk membuka kesempatan orang yang
tertarik dan punya kemampuan. Live-in, bukan yang paling mudah, tetapi
mungkin lebih terbuka bagi banyak orang dibandingkan pendakian. Live-in menuntut
penempatan ke Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang, selama satu sampai tiga
pekan. Pesertanya juga diseleksi, ada persyaratan dan membuat esai.
Terakhir adalah
festival budaya, yang merupakan puncaknya. Rencana dilaksanakan di Oksibil,
karena memang tempat utama Festival Puncak Papua. Bandung, pusat Wanadri, juga
kebagian tempat. Dan Jakarta, tempat kantor Indonesia Mengajar, dan pasti akan
mengumpulkan banyak orang untuk datang ke acara festival. Konsep yang sangat
dahsyat.
Personel IM dan
Wanadri pun tak cukup membereskan seluruh rencana baik ini. Juga untuk
memperluas kontribusi masyarakat, Festival Puncak Papua membuka lowongan
relawan untuk membantu jalannya festival. Ada bagian Partnership, Produksi, dan
Kampanye. Rekrutmen terbuka dibuka, promosinya cukup menarik minat untuk ikut
ambil bagian membantu festival ini. Hingga rekrutmen ditutup, grup dibuat, dan
ada pengumuman untuk berkumpul: first gathering.
Banyak juga relawan,
dan dengan penyambutan khas Indonesia Mengajar di kantor Senayan Bawah 17,
suasana kerelawanan sangat hangat. Hari itu menjadi hari awal semangat bagi
para relawan. Partnership, Produksi, dan Kampanye dibagi lagi menjadi
subbagian, memfokuskan kerja kami. Progres pekerjaan pun menanti.
***
Aku sempat melirik
kepada live-in, salah satu rangkaian yang menuntut banyak waktu dan tenaga.
Dari luar tampaknya menarik, tapi memang butuh keluangan yang cukup. Kalau
syarat paling membuat esai, dan ya selain itu biaya ditanggung sendiri sih.
Tetapi konsep live-in
memang suatu kegiatan yang holistik, karena kita berhadapan langsung dengan
masyarakat lokal. Apalagi pembagian minat kontribusi salah satunya
sosio-antropologi. Selain itu ada dokumentasi, kesehatan, pelatihan guru, dan
lainnya. Bersama orang dari Indonesia Mengajar dan Wanadri, pendaftar live-in
akan turun ke masyarakat selama satu pekan, dua pekan, atau tiga pekan,
tergantung kesediaan.
Kak Lisa yang sudah
kukenal sejak Festival Ikut Bekerja 2017 juga ikut bantu. Ia banyak beraksi di
pendakian, dan update-nya banyak tentang latihan pendakian bersama
orang Wanadri. Tapi ia juga narahubung mengenai live-in, jadi sempat
juga menjelaskan banyak hal. Sungguh keren memang gerakan ini, kebutuhan kerelaannya
tinggi.
***
Kita jadi memahami
bagaimana cara kerja komunitas kerelawanan. Kita bisa melihat orang-orang
bahagia di dalamnya, karena setiap kehadiran didasarkan rasa sukarela. Tetapi
kita tidak bisa mengharapkan orang selalu ada. Bukan orang tidak ada yang
peduli, tetapi tentu banyak relawan yang mempunyai kesibukan masing-masing di
luar ‘rumah bersama Senayan Bawah’, tempat pertama relawan berkumpul.
Merchandise, masih menjadi hal
menarik bagi orang-orang di luar kontributor yang tertarik. Setidaknya mereka
ikut berkontribusi kecil, karena setiap pembelian merch dihitung donasi
kepada kegiatan. Socmed feed, masih menjadi hal yang perlu diisi, untuk
tetap menggaungkan kegiatan hebat ini. Dan hal-hal terkait produksi tulisan,
foto, dan video tetap harus dipersiapkan. Dan sejauh dukungan yang didapat,
tetap perlu lebih banyak lagi. Ini kegiatan hebat.
Aku berada di pusaran
setengah luar pelaku acara ini. Sebagai relawan, tentu aku sudah menyatakan
rela untuk membantu festival ini. Pelaku utama adalah orang Indonesia Mengajar
dan Wanadri, dan dalam kerelawanan diharap semua pihak bisa membantu tanpa
pandang peran, dan kami bisa saling bantu dalam memaksimalkan bagian
masing-masing, menambahkan jika ada yang masih kurang.
Kak Mici menyambut
hangat kehadiranku di booth sederhana FPP di pinggir jalan. Juga ada Kak
Yessy, IMagang saat itu. Kami berinteraksi dan bercanda ria saja sambil menarik
minat orang-orang mendatangi booth kecil ini. Ada yang kukira orang
Papua, ternyata dari Kupang. Namun baik, ia tetap menyempatkan waktu untuk kami
tanya-tanya, dan memberi dukungan kata-kata untuk FPP.
Setelah sesi bebas
kendaraan berakhir, para pelaku peran berkumpul dan merefleksikan hari. Sambil
makan di sekitar Jl. Blora, banyak hal yang diperbincangkan. Bang Ucok menarik
dan seru, ia paling verbal dalam bercerita tentang kisahnya menjadi Pengajar
Muda. Pernah ia diminta menjadi khatib salat Jumat, padahal ia belum pernah
sebelumnya. Memang hal-hal itu yang menjadi tantangan dalam menjadi PM
Indonesia Mengajar. Aku juga banyak ditanya, karena menjadi relawan yang berada
di antara para officer Indonesia Mengajar. Kuceritakan pula
ketertarikanku pada IM dan wadah penempatan PM ke pelosok sejak SMP. “Semoga
masih ada ya, PM ke berapa tuh empat-lima tahun lagi.”
Jadi teringat ketika
acara Deep & Extreme Indonesia juga menjadi sarana promosi. Booth Wanadri
ketika itu juga sekalian mempromosikan Festival Puncak Papua. Merch bisa
dibeli, hal-hal mengenai festival bisa ditanya, dan bertemu dengan relawan
ramah menjadi keseruan tersendiri. Lalu siang hari itu aku berbincang semeja
dengan mereka. Iya, relawan saling akrab saja, itulah yang menyenangkan.
Para Alumni Pengajar
Muda tentu punya lebih banyak cerita, khususnya yang dahulu ditempatkan di
Pegunungan Bintang. Kisahnya selalu inspiratif. Jika tidak, pasti ada kesan
bagi diri mereka masing-masing. Beruntung aku bisa mendengar kisahnya langsung
dalam semeja. Walaupun obrolan harus berakhir karena hari semakin terik, dan
kami tinggalkan puja (pusat jajanan) sederhana Jl. Blora itu.
***
Akhirnya puncak dari
Festival Puncak Papua dilaksanakan di Go-Food Festival GBK, Jakarta. Sebagai
penjelmaan festival budaya dari konsep awal. Tadinya direncanakan di Taman
Menteng, namun ada perubahan. Dan semua bahagia, Papua tetap menyenangkan dan
menjadi impian untuk mengujunginya. Satu hal, aku akhirnya tak bisa menghadiri
puncak festival, walaupun masih diingat oleh panitia, aku mendapat surel
undangan hadir ke GBK.
Komentar
Posting Komentar