Kisah Tokoh Wayang: Sobali dan Sugriwa


Banyak yang mengatakan mereka bagai pinang dibelah dua, tak bisa dibedakan. Namun dilihat dari kemampuan dan wataknya, mereka berbeda. Sobali akhirnya memilih menjadi resi, dan Sugriwa langgeng menjadi raja. Sobali dan Sugriwa pun digambarkan tak jarang berselisih, bahkan hingga maut memisahkan mereka. Ini satu lagi kisah wanara (manusia monyet) dalam semesta pewayangan.

***

Dewi Indradi melahirkan lagi, kali ini kembar. Yang pertama keluar diberi nama Guwarsa, yang kedua diberi nama Guwarsi. Keduanya sangat mirip. Memunculkan wajah sumringah pada Dewi Indradi, ia mempunyai anak laki-laki, berpikir dapat melindunginya saat besar nanti. Sedangkan Resi Gotama melihat sejenak bayinya, wajahnya tenang seperti biasa. Ia mau melanjutkan bertapa.
Guwarsa diserahkan kepada Kapi Jembawan, sedangkan Guwarsi akan diasuh Kapi Menda. Akhirnya kedua sahabat ini mengikuti Kapi Saraba yang telah lebih dulu mendapat jatah mengasuh Dewi Anjani, anak pertama. Mereka bertiga dengan ikhlas menemani dan menjadi bagian dari keluarga itu, dan sedikit memperamai kesepian dan keheningan. Ya, keluarga ini begitu sunyi, tinggal dalam pertapaan. Bukan perihal di pertapaan, namun memang interaksi antaranggotanya sungguh minim. Resi Gotama sangat serius bertapa. Bahkan setelah dianugerahi istri Dewi Indradi, ia tetap lebih khusyuk dalam bertapa.
Bertahun-tahun dalam hubungan pernikahan, Dewi Indradi baru hamil di tahun kesebelas, lahir seorang putri. Lalu dua tahun berselang ini, lahir Guwarsa dan Guwarsi. Namun penambahan anggota keluarga ini tak menambah keramaian suasana Pertapaan Grastina. Hal ini paling dirasakan oleh istri sang petapa, Dewi Indradi. Dalam kesendiriannya, akhirnya ia menyeleweng, melakukan hubungan diam-diam dengan Batara Surya.

***

“Anak-anakmu semakin besar, Indradi. Kau tidak bisa terus menerus begini.”
“Namun suamiku tetap tak memedulikanku, Pukulun.”
“Ini, kuberi cupumanik, bersama Astagina. Cupu ini merupakan jendela penglihatan ke dunia luas. Kau juga bisa melihatku dari situ, di situ kita tetap dapat bertemu.”
“Terima kasih, Pukulun, untuk selama ini. Maafkan perbuatanku,” Batara Surya lenyap dari pandangan, melebur dengan cahaya. Dewi Indradi baru selesai melakukan ‘ritual’-nya dengan Batara Surya, yang sudah dijalaninya bertahun-tahun. Namun kini anak-anaknya mulai besar. Bukan karena ia akan mengasuh anaknya, namun lebih karena takut ketahuan anak-anaknya itu yang sudah mulai bisa berpikir dan banyak menjelajah. Akhirnya Batara Surya memberikannya sebuah cupu.
Dewi Anjani telah tumbuh remaja, begitu juga Guwarsa dan Guwarsi. Mereka cukup riang menjalani kehidupan, berkat asuhan andal para kapi. Keseharian di pertapaan tak lagi monoton. Namun karakter tiga anak in tetap menunjukkan perbedaan. Dewi Anjani, walau diasuh oleh Kapi Saraba, ia lebih dekat dengan ibunya karena perempuan. Guwarsa tertarik dengan kebiasaan bertapa ayahnya, walau masih lebih sering bermain dan mencari ilmu bersama Kapi Jembawan. Sedangkan Guwarsi lebih suka menjelajah bersama Kapi Menda.
Cupumanik Astagina sering dimainkan oleh Anjani, Dewi Indradi pun berhati-hati dalam menceritakan asal-usulnya. Anjani jadi senang melihat-lihat isi cupu tersebut, dan lebih sering dimainkan olehnya. Guwarsa dan Guwarsi suatu kali memergoki Dewi Anjani sedang asyik melihat-lihat benda kecil yang dipegangnya. Pertama kali mereka heran, dan Anjani selalu menghindar tiap kali mereka mendekat dan bertanya soal itu. Akhirnya mereka pasrah dan menganggap itu angin berlalu saja.
Beberapa warsa berlalu, anak-anak Resi Gotama makin dewasa. Mereka makin menunjukkan kepribadiannya masing-masing. Seiring Guwarsa dan Guwarsi yang sudah cukup menguasai ilmu bertarung, Dewi Anjani masih saja bermain dengan cupunya. Hingga suatu kali Guwarsa dan Guwarsi mendesak Anjani untuk menceritakan tentang cupunya tersebut. Anjani menghindar namun sempat berkata bahwa itu pemberian ibunya. Akhirnya Guwarsa dan Guwarsi mengadukan hal ini kepada ayahnya, menanyakan siapa tahu ayahnya menahu soal benda kepemilikan ibunya. Ternyata Resi Gotama pun terkejut, ia belum pernah tahu soal adanya cupumanik tersebut. Akhirnya dipanggillah Anjani dan ibunya.
Gotama bertanya soal asal-usul cupu tersebut, namun istrinya membungkam. Sudah diulang beberapa kali pertanyaannya istrinya tetap membungkam, akhirnya Gotama hilang kesabaran, dan spontan mengucap bahwa istrinya bagaikan tugu saja diam tak bicara. Tiba-tiba kekeramatan Pertapaan Grastina dan Resi Gotama bekerja, apa yang ia ucapkan menjadi kenyataan. Semua terkaget, Resi Gotama tampak tersentak. Akhirnya ia memutuskan melempar tugu tersebut hingga tak tampak dalam penglihatan. Dan cupumanik tersebut juga ia lempar, dikatakannya bahwa yang berhasil menemukannya maka ia berhak memilikinya. Akhirnya ketiga anaknya bersama pengasuh mereka mengejar cupu tersebut.
“Apakah jatuh ke dalam sini, Paman?”
“Arahnya benar kemari, coba saja kita selami,” Guwarsa masuk ke dalam suatu genangan air bersama Kapi Jembawan. Guwarsi yang tak jauh di belakang juga sampai di tepi genangan, dan ikut masuk bersama Kapi Menda.
Dewi Anjani cukup kelelahan, akhirnya sampai pula di tepi genangan bersama Kapi Saraba. Mereka tak sempat melihat dua saudara dan sahabatnya masuk ke dalam genangan, hanya kecapaian maka mereka mencuci muka dengan air tersebut. Tiba-tiba mereka terkaget sendiri, muka dan telapak tangannya menjadi berbulu, seperti monyet! Mereka tambah kaget karena tiba-tiba terlempat dua ekor monyet berukuran manusia dari dalam genangan. Keduanya terlihat bertengkar. Kemudian muncul lagi dua ekor monyet dari genangan, kali ini hanya terbengong melihat dirinya dan dua ekor monyet yang bertengkar.
“Oke, Monyet. Jadi siapa kau?”
“Namaku Guwarsa!”
Jagad Dewa Batara! Aku Guwarsi, Kanda. Dan kau, Paman Jembawan kah? Dengan Paman Menda? Yunda Anjani? Paman Saraba?”
“Aduh Raden, mengapa kita jadi seperti ini!”
“Sebaiknya mari kita menghadap kepada Rama Resi.” Mereka berenam akhirnya kembali ke pertapaan, akan mengadu kepada Resi Gotama. Genangan tersebut dan pencarian tugu batu ibunya tak mereka hiraukan lagi. Padahal memang di situ letak jatuhnya cupumanik Astagina, berubah menjadi telaga, yang dengan kekeramatannya dapat mengubah bentuk makhluk yang menyentuh airnya. Kelak telaga ini akan menjadi saksi adanya ribuan balatentara wanara.
“Ini seperti sudah suratan takdir. Sebaiknya kalian semua bertapa. Anjani, kamu bertapa merendam diri di sungai. Guwarsa, kini namamu Sobali, kau bertapa ngalong. Dan Guwarsi, kini namamu Sugriwa, kau bertapa ngidang. Sekian, selamat jalan, anak-anakku,” Resi Gotama tak banyak ekspresi dan berusaha bersikap tenang walaupun agak heran keluarganya semua menjadi monyet.
Akhirnya ketiga anak Gotama pergi bertapa, mencari tempatnya masing-masing, ditemani para pengasuhnya. Anjani mencari sungai yang nyaman, tak banyak arus, dan ia mulai berendam. Sambil mengheningkan cipta, memusatkan pikiran, ia harus menjaga dirinya kokoh dihadapi arus sungai siang dan malam.
Sobali, bersama Kapi Jembawan mencari pohon yang tinggi dan nyaman. Ia naik ke atas dan berposisi seperti kelelawar (kalong). Sedangkan Sugriwa, bersama Kapi Menda, mencari lahan yang agak terbuka, untuk berposisi seperti kijang tidur.
***

Dua tahun sudah Sobali dan Sugriwa menjalankan tapanya. Begitu pula kedua pengasuhnya setia menemani mereka. Berbagai gangguan dari suasana hutan mereka singkirkan demi kenyamanan asuhannya. Di samping itu, rupa monyet mereka semakin menjadi. Bulu sekujur tubuh makin lebat, dan memang cara bertapanya layaknya hewan. Namun semua itu mereka jalani dengan tekun, itu yang membuat diterimanya tapa ini. Kala itu Batara Narada turun.
“Apa kabar cucuku Sobali? Bangunlah Ngger, Dewata telah mendengar gema tapamu.”
“Selamat datang, Pukulun,” Sobali dan Jembawan menghaturkan sembah kepada Batara Narada yang baru saja hadir di tempat tapanya. Sobali turun dari posisinya.
“Dua warsa ini kalian sudah tekun bertapa, dan dalam diri kalian pun sudah tertanam kesaktian. Maka dari itu Dewata menghendakimu untuk memberantas kekacauan di Goa Kiskenda. Ada penguasa lalim bernama Lembusura yang dibantu pendamping setianya Maesasura. Mari kita beri tahu adikmu juga.”
Kemudian mereka menuju ke tempat Sugriwa bertapa. Sugriwa dan Kapi Menda pun bangun dari tapanya. Diberitahukan padanya titah dari Batara Narada. Akhirnya Sugriwa mengikut kakaknya ke Goa Kiskenda, sedangkan Kapi Menda dan Kapi Jembawan kembali ke Pertapaan Grastina menemui Resi Gotama.
“Ini dia Goa Kiskenda.”
“Penjaganya banyak.”
“Iya, kita harus bagi tugas. Kita serang dulu bersama, kemudian aku mencari kesempatan untuk masuk ke dalam goa dan mencari Lembusura. Kau habisi pasukannya yang di luar.”
“Baik, Kanda. Nanti aku akan menyusul ke dalam juga.”
“Kau langsung cari Dewi Tara, lalu langsung keluar goa. Tunggu di luar, untuk berjaga-jaga, siapkan batu besar seukuran mulut goa. Jika kau lihat darah putih mengalir ke luar, berarti mereka terlalu kuat. Berarti aku gugur, dan kau harus tutup mulut goa.”
“Kanda...”
“Mari laksanakan. Fokus kita adalah menyelamatkan putri Batara Indra. Jika takdir baik maka kita akan bertemu lagi,” akhirnya mereka langsung memunculkan diri dari semak ke depan pintu goa, yang dijaga belasan pasukan Goa Kiskenda. Keadaan berubah menjadi ramai, anak buah Lembusura pun berbondong-bondong muncul dari dalam goa, ikut bertahan. Sobali berusaha untuk masuk  ke dalam goa, sedangkan Sugriwa terus menghantam yang di luar untuk melancarkan langkah Sobali.
Sobali berhasil masuk. Ia langsung mencari singgasana dalam goa. Sugriwa tak lama kemudian menyusul, ia mencari tempat penyekapan Dewi Tara. Beberapa saat kemudian Maesasura memunculkan diri di depan Sobali. Langsung terjadi perkelahian. Ternyata benar, ia begitu kuat dan menyeramkan. Apalagi pertarungan berlangsung di goa yang gelap.
Dewi Tara telah ditemukan Sugriwa. Tanpa banyak suara, ia menggotong Dewi Tara keluar goa berusaha tak terlihat perkelahian Maesasura dan Sobali. Sugriwa berhasil, mereka telah di luar goa. Tiba-tiba aliran darah merah bercampur putih keluar. Sugriwa khawatir bercampur sedih, namun ia harus bergerak cepat. Batu besar telah siap, dan ia segera menutupnya.
Sugriwa dengan sedih mati lalu melapor ke Suralaya dengan menyerahkan Dewi Tara. Ia menceritakan semua yang ia alami. Kemudian atas rasa terima kasih Dewata kepada Sugriwa yang mengembalikan Dewi Tara, Sugriwa dinikahkan dengan Dewi Tara. Selain itu Sugriwa diperintahkan untuk mengumpulkan monyet di Rimba Dandaka lalu memimpinnya.

Keadaan di Goa Kiskenda begitu mencekam, setelah pertarungan antarmakhluk gagah sakti. Terbaring tubuh lelah sehabis pertarungan. Ia mengistirahatkan diri sejenak walaupun ingin sekali segera keluar, namun pertarungan barusan menghabiskan banyak tenaga.
Ialah Sobali. Ia belum mati, dan nyatanya ia yang berhasil membunuh para petinggi Goa Kiskenda tersebut. Jatasura mati tergeletak. Sedangkan kepala Lembusura dan Maesasura berhasil ia benturkan hingga pecah. Darah mereka bercampur otak terlihat mengalir seiring jalan goa. Ia tak perlu susah mencari jalan keluar dari goa karena lupa, pikir Sobali.
Akhirnya setelah agak bugar lagi Sobali keluar goa. Namun betapa kagetnya ia melihat pintu goa telah ditutup!

Komentar