Perbecakan di Yogyakarta
Ini
tulisan pengalaman melintasi waktu. Mengenai bagaimana becak sejak awalnya di
Yogya mungkin tidak menjadi pengalaman langsungku. Aku hanya mulai mengenal
becak kayuh di Yogya sejak kecil, ketika tiap tahun aku berlebaran di kota ini.
***
Jl.
Jenderal Sudirman pada tahun 2007 belum terlalu ramai. Banyak becak mangkal di
depan Hotel Santika, maupun sebelahnya. Biasa itu yang kami naiki ke Sagan,
tepatnya ke Jl. Prof. Dr. Herman Yohanes. Ketika itu aku belum begitu familiar
dengan nama jalan ini, setiap perjalanan hanya mengikut Bapak saja—kalau Bapak
pasti lebih jauh lagi pengalaman ke-becak-annya sebagai yang tumbuh besar di
sini. Aku ketika itu hanya paham turun dari becak sampai ke depan rumah Eyang.
Juga sebaliknya, ketika hendak bepergian dari rumah Eyang, kami mencegat becak
di Jl. Yohanes itu, dekat Apotek24. Jika tujuannya agak jauh, maka kami naik
taksi, atau pesan lewat telepon.
Becak
menjadi vibe Yogyakarta yang utama, karena tidak ditemui di kotaku lama
tinggal, di Jakarta. Katanya sudah lama becak sudah dilarang di Jakarta, karena
mengganggu lalu lintas. Sebenarnya pada waktu yang sama aku juga mengenal
adanya becak motor, di Banda Aceh. Bedanya selain menggunakan motor, penumpang
becak di Aceh berada di samping motor, sedangkan pada becak Yogyakarta
sepedanya berada di belakang penumpang.
Kemudian
kata Bapak, becak di Yogya cukup istimewa, dengan boleh tidak patuh lampu
merah, karena menggunakan tenaga manusia. Ya setidaknya itu kata bapakku, atau
sekadar menjadi pemakluman umum. Aku juga melihat ruang tunggu sepeda di bagian
depan lampu merah, dan mungkin diperuntukkan juga untuk becak kayuh. “Nah, gak
lama juga hijau kan,” menambah-yakinkan soal ‘tidak berhentinya becak saat
merah’ tidak mengganggu banyak. Lalu ia, sang pengayuh, melanjutkan kayuhannya
hingga tujuan kami.
Suasana
sore jelang malam sayup-sayup, sangat syahdu. Tidak terlalu banyak kendaraan.
Kami sampai tujuan, aku senang. Yogyakarta itu becak, aku harus menaikinya tiap
kali kemari.
Kontestasi
Eksistensi
Pada
suatu kali, hari sedang malam, aku melihat becak yang menggunakan motor di
pinggir jalan. Itu pertama kali, dan aku ‘wah keren!’ Jarang-jarang ada becak
motor di Yogya, dan kalau tidak salah ketika itu aku mengambil foto. Waktu
berlalu hingga makin hari aku menemukan mesin motor itu makin banyak ditaruh pada
becak Yogya. Aku berbalik merasa terganggu, dan miris terhadap becak kayuh yang
jadinya makin sedikit.
Suara
mesin di becak itu berisik tidak mengenakkan (selain karena sugesti kemirisan).
Seakan suara itu memenangkan kontestasi suara juga jatah pelanggan becak kayuh.
Aku jadi selalu menolak jika ada yang mengajak naik becak dan ternyata itu
bermotor. Juga merasa punya beban memberi ongkos lebih kepada pengayuh becak.
Ini
kerinduan. Mungkin satu di antara yang lain. Mungkin bisa disatukan dengan
kerinduan keadaan masa kecil. Karena semuanya bergerak lurus. Yogya makin
ramai, mulai ada kemacetan, dan kenyamanan yang luar biasa itu mulai luntur.
Tentu bukan sedikit orang yang sadar dan rindu. Oleh karena itu upaya
mempertahankan Yogya tetap dicintai juga banyak. Yogyakarta itu kota ternyaman,
setidaknya rilisan tahun 2009, tapi aku tak pernah menghilangkan predikat itu.
Walau benar, sekarang caraku melihat dan menikmati Yogya sudah berbeda.
Transformasi
yang Lebih Luas
Teman
saya mengambil topik becak untuk tugas akhir salah satu mata kuliah kami. Awalnya
ia (atau mereka) ingin meneliti mengenai ‘becak kayuh vs becak motor’. Namun
begitu lihat langsung ke lapangan, yang ditemukannya berbeda. Ternyata antara
kedua jenis ini berteman, sehingga mereka mengganti arah dan judul. Ternyata
becak saat ini permasalahannya memang makin sedikit. Dan ancaman yang lebih
besar memang moda transportasi lainnya.
Kini
berkelana di Yogya praktisnya menggunakan ojek daring, taksi pun taksi daring.
Trans Jogja tidak bisa dijadikan moda utama transportasi di Yogya. Ia tidak
perkasa seperti di Jakarta, karena tidak banyak inovasi sejak sepuluh tahun
lebih diluncurkan. Perantau di Yogya (pelajar-mahasiswa) cenderung untuk
bersepeda motor. Ada sebagian yang bersepeda. Iya, kita belum membicarakan transformasi
sepeda di Yogya, segmen lainnya yang bisa kita lihat banyaknya jalur sepeda
namun kini sepi.
Namun
Yogya itu becak, setidaknya itu pengalaman dan kerinduanku. Jika aku tak
melihat perkembangan Trans Jogja sebagai kemajuan transportasi publik, selagi
becak (kayuh) masih ada sempatkanlah.
Komentar
Posting Komentar