Lima Film Ari Sihasale

 Saya pernah begitu menyenangi suatu genre film. Ialah kedaerahan. Mungkin penamaan yang saya buat sendiri dan tidak terlalu populer sebagai satu corak film. Namun dalam keindonesiaan yang beragam ini, sebenarnya menampilkan keindahan pelosok Indonesia merupakan peluang yang sangat besar. Dan Juharson Estrella (Ari) Sihasale melihat itu. Seperti begitu tertarik mengangkat gambaran pelosok Indonesia, ia pernah merilis film-film kedaerahan berturut-turut, sekali setahun. Salah satu darinya bahkan film terfavorit saya sejauh ini.

Waktu telah berjalan. Mengenang film-film tersebut akan seiring mengenang ketertarikan pelosok dalam pada belianya diriku. Lalu belum lama ini ada film yang mengembalikan vibe, Rumah Merah Putih (2019) dengan latar di Timor. Tapi tulisan ini ditulis untuk mengenang lima film kedaerahan dalam lima tahun berturut-turut itu.


King (2009)

Film pertama dari rangkaian lima ini adalah King, yang rilis pada 2009. Film ini bercerita tentang Guntur, seorang remaja dan pemain bulu tangkis an(tarkam)pung, yang mengidolakan Liem Swie King. Kehebatan King sering diceritakan oleh ayahnya, yang juga mengidolakannya.

Aku mengingat menonton ini bersama orang tua.


Tanah Air Beta (2010)

Film ini tentang bagaimana merawat kecintaan terhadap tanah air di perbatasan negeri. Saya lupa, sepertinya saya sempat menontonnya lagi selain di bioskop pada 2010. Ketika itu, hal yang selalu kuingat dari film ini adalah Perbatasan Mota’ain, yaitu perbatasan antara NTT dan Timor Leste di Pulau Timor. Suasananya tandus, terlihat sangat panas berada di sana. Tapi aku ter-‘wah’, seru kali itu pelosok! Begitulah ketika kunonton.

Tanah Air Beta


Serdadu Kumbang (2011)


Di Timur Matahari (2012)

Kalau yang ini mendapat tempat spesial. Sampai saat ini, Di Timur Matahari adalah film terfavoritku sepanjang masa. Salah satu indikator nyeleneh-nya adalah di laptopku periode sebelum ini, Di Timur Matahari menjadi satu-satunya dokumen film yang kuundah gratis heuheu.. Pada rentang 2014-2015 aku menontonnya di laptop hampir sepekan sekali, gile coba. Film ini menjadi core materi pembelajaran Indonesia Timur-ku ketika itu. Bahkan pada rentang itu, aku menulis di bio Facebook sebagai ‘putra bangsa Indonesia berdarah Jawa berlogat Indonesia Timur’. Memang tidak bisa dipisahkan lagi ketika itu, bicara spontanku akan selalu berdialek Timur sekali, terutama Melayu Papua.

Pertengahan tahun 2019 (sebelum laptop itu tidak bisa dipergunakan) menjadi perjumpaanku lagi dengan film ini ketika aku mengusulkan film ini menjadi bahan diskusi untuk kuliah. Akhirnya kubuka lagi folder video itu dan kutonton sekali lagi. Ternyata vibe-nya masih sama, menontonnya dari awal mendorong penerawangan kepada suasana 2014-2015, ketika aku sangat Indonesia Timur. Ketika diskusi tentang film ini di kelas kuliah, tentu film ini sekali lagi diputar, dan setelah itu aku didorong untuk memimpin diskusinya. Menarik, akhirnya aku membawakan film favoritku ke ruang yang lebih luas.

Simon Sikoway atau di filmnya sebagai Mazmur menjadi pusat perhatian. Adegan awal langsung menampilkan dia menerawang ke langit, diiringi irama alat musik pikon. Suasana alam Mamberamo, anak-anak yang bermain, dan interaksi masyarakatnya yang berbeda dari yang biasa kita lihat di perkotaan berhasil membawa kita kepada suasana di film. Dan malah belum kusebutkan, film ini di Papua. Mamberamo itu di Papua, dan ya sebenarnya terlihat dari ‘di timur’.


Leher Angsa (2013)


Komentar