Cerita Rakyat: Legenda Desa Lateng, Gladhak, dan Tusukan

Pada suatu zaman di Kerajaan Macan Putih ketika Prabu Tawangalun berkuasa di sana, hidup dua orang kakak beradik. Mereka masing-masing bernama Agung Sulung dan Sulung Agung. Keduanya adalah guru yang sangat dihormati di kerajaan tersebut, karena mereka mengajar para putra raja.
Seiring berjalannya waktu, usia Prabu Tawangalun semakin tua. Maka dari itu, takhta kerajaan ia serahkan kepada putra sulungnya. Tak berapa lama setelah itu, Prabu Tawangalun wafat. Sejak itu, kerajaan lambat laun kerajaan semakin tidak terkendali. Karena sang pemimpin baru ini hanya bersenang-senang dan mabuk-mabukan saja sepanjang hari, tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya. Agung Sulung dan Sulung Agung malu dan sedih, karena mereka menganggap mereka tidak bisa mendidik putra raja dengan baik. Oleh karena itu, keduanya bertekad untuk meninggalkan istana dan mengembara.
Mereka yang biasanya selalu hidup bersama dalam satu atap, memilih berpisah dan melanjutkan hidup sendiri-sendiri. Agung Sulung pergi ke arah barat. Suatu ketika, ia sampai di suatu desa yang bernama Cungking. Lalu, ia menetap di situ. Ia tetap berprofesi menjadi guru, mengajarkan penduduk di sana. Mula-mula, sangat sedikit yang mau belajar kepadanya,karena belum ada yang kenal. Namun, lambat laun, Agung Sulung mulai dikenal di kalangan masyarakat dan muridnya pun semakin banyak. Bahkan, hingga di luar desa Cungking, banyak masyarakat yang belajar kepadanya.
Berkat pengaruh Agung Sulung mengajar di Cungking, semakin lama kehidupan masyarakat Cungking semakin mapan. Keadaannya menjadi aman dan tenteram. Semua penduduk tidak ada yang miskin.
Lain lagi dengan pengembaraan Sulung Agung, Ia berjalan ke arah timur, sampai menemukan suatu hutan. Di sana banyak ditumbuhi tumbuhan jelatang. Setelah diperiksa, ternyata tanah di situ sangat subur. Maka, Sulung Agung dan para sahabatnya merambah hutan tersebut untuk dijadikan lahan pertanian. Namun, belum lama mereka tinggal di sana untuk bercocok tanam, mereka telah dikeluhkan dengan adanya tumbuhan jelatang tadi yang ternyata menyebabkan gatal. Sulung Agung sempat menyumpah, “Kelak daerah ini bernama Lateng!” Konon, berpuluh-puluh tahun kemudian, terbuktilah supata Sulung Agung, daerah tersebut dinamakan Lateng. Pada zaman itu pula, Sulung Agung dikenang dengan nama Raden Lateng.
Kembali ke pengembaraan Sulung Agung, Sulung Agung dan para sahabatnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu karena tidak mungkin berlama-lama hidup bertani dengan rasa gatal.
Akhirnya, mereka meneruskan perjalanan terus ke timur. Di suatu tempat, mereka menemukan lagi suatu hutan. Mereka pun kembali membuka hutan di sana. Karena terlalu semangat dan kerja keras, mereka merasa lelah. Niatnya beristirahat sejenak dengan tidur-tiduran di tikar (glethakan), namun, karena terlalu lelah dan tergoda dengan tiupan angin yang sejuk, mereka tertidur. Saat bangun, tiba-tiba hari sudah senja. Untuk memperingati kejadian itu, nama daerah tersebut dinamakan Glethakan (Gladhak).
Namun, Sulung Agung dan para sahabatnya masih ingin mengembara lagi ke timur. Mereka membawa bekal dan persediaan air bersih dari Gladhak. Maka, berangkatlah Sulung Agung ditemani sahabat-sahabatnya yang setia. Suatu ketika, mereka mendapati suatu wilayah yang rasanya cocok untuk tempat bermukim. Namun, karena terlalu giat membuat permukiman dan rumah-rumah, lama-lama persediaan dari Gladhak menipis.
Sulung Agung dan para sahabatnya kebingungan. Mereka tak tahu harus mencari air bersih dari mana. Karena kesalnya, Sulung Agung menusukkan bamboo runcing ke tanah. Ajaib, tiba-tiba dari dalam tanah memancar air bersih. Mereka semua bersorak-sorai. Kini persoalan air telah selesai. Untuk mengenang peristiwa menggembirakan tadi, dinamakanlah daerah itu menjadi Tusukan.
Namun, Sulung Agung dan para sahabatnya belum puas. Mereka masih ingin mencari tempat permukiman lagi. Seperti biasa, mereka berjalan ke arah timur, dan seperti biasa pula mereka berhenti saat menemukan hutan. Namun, bedanya, ternyata hutan itu telah ada penghuninya. Terlihat oleh Sulung Agung sebuah rumah kecil berdiri di antara pohon-pohon rindang tersebut. Karena penasaran, Sulung Agung mencoba memasuki rumah itu. “Permisi, adakah orang di dalam?” Sapa Sulung Agung.
“Ya, saya penghuni rumah ini,” Keluar seorang wanita cantik dari dalam rumah. “Ada keperluan apa anda datang ke sini?” Tiba-tiba mata Sulung Agung tertuju pada sebuah genthong, yaitu sebuah tempayan air. Genthong itu sangat besar dan indah. Oleh karena itu, Sulung Agung dan kawan-kawannya tertarik membeli genthong tersebut. “Bolehkah saya memiliki genthong tersebut?”
“Jangan, Tuan,” jawab si wanita.
“Bagaimana kalau saya beli?”
Namun si wanita tak menjawab. Lalu Sulung Agung memberikan tawaran yang lebih menarik lagi. “Saya akan memberikan berapa pun untuk genthong itu,”
“Maaf, Tuan, genthong itu satu-satunya barang yang saya miliki. Saya tidak mau berpisah dengan genthong tersebut. Kemana pun genthong itu dibawa, saya akan terus mengikutinya.”
Akhirnya, mengertilah Sulung Agung. Kebetulan ia juga belum berkeluarga. Maka, dia melamar janda tersebut. Para sahabatnya sangat setuju.
Maka, diadakanlah pesta pernikahan yang sangat meriah. Keduanya sangat bahagia. Selain itu, mulai saat itu, Sulung Agung berjanji untuk menetap di situ sampai akhir hayatnya, tidak akan mengembara lagi, karena telah mendapatkan genthong yang ia inginkan, bahkan, ditambah pemiliknya. Begitu pula para sahabatnya. Mereka setuju dengan ketetapan Sulung Agung.

Komentar