Kedaulatan Laut pada Masa Depan Iklim

Perairan Pulau Bair, Kep. Kei, Maluku (2016).


Saat sekolah, kita mungkin mengenal laut sebagai komponen bumi, teman dari darat dan udara. Pada dunia yang kita lihat setiap hari, kalau tidak darat dan udara, laut menjadi pemandangan yang bisa kita lihat sesekali atau setiap hari. Kadang disertai dengan syahdunya semilir angin.

 

***

 

Padaku yang seringkali berkutat pada momentum, tulisan ini juga tidak lepas dari kaitan momen. World Oceans Day (8 Juni), diikuti Hari Kelautan Nasional (2 Juli), membuat hari-hari ini begitu mendorong kita memaknai laut. Namun selagi laut memang masih eksis sebagai bagian dari ekosistem di bumi, yang sudah ada sejak awal bumi terbentuk hingga kini—bahkan seterusnya, berbicara tentang laut sepertinya akan selalu relevan.

Kemudian menjadi orang Indonesia membuat kita dikenalkan secara langsung dengan laut, sedari kita telah diajarkan di sekolah tentang Indonesia negara maritim, maupun kehidupan sebagian masyarakat kita yang berkontak langsung dengan laut. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Wilayah daratan yang kita tempati ini hanya sekitar sepertiga dari seluruh luas wilayah Indonesia, sisanya diisi lautan. Fakta ini juga yang menyebabkan Deklarasi Djuanda tahun 1957 menjadi penting bagi Indonesia, yang mengatur batas laut teritorial, landas kontinen, dan ZEE yang memberikan Indonesia ciri khas sebagai negara kepulauan dan memiliki kedaulatan laut.

Kedaulatan atas laut ini akan mengakomodasi masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan lautnya. Apalagi, masyarakat pesisir tidak bisa dilupakan sebagai tonggak hasil laut Indonesia dan mengokohkan lagi Indonesia sebagai negara maritim. Alhasil, Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia dalam produksi perikanan, di bawah Tiongkok, berdasarkan data FAO pada 2014. Dengan produksi sebesar 6 juta ton (2014), jumlah tersebut mencapai 6,8 persen hasil perikanan dunia.

Namun dalam pemanfaatan manusia atas alam, ada satu tanggung jawab kita sebagai bagian dari ekosistem kehidupan yang lebih besar. Dalam hal ini, tanggung jawab terhadap luasnya lautan dengan kehidupannya. Dengan atau tanpa terjamah oleh manusia, di dalam lautan dan samudera tersimpan kekayaan. Ialah suatu biodiversitas, atau keanekaragaman hayati laut yang terdiri dari berbagai spesies. Dari data Census of Marine Life (CoML) tahun 2012, laut dunia menyimpan sekitar 950 ribu spesies di dalamnya. Di antaranya, sudah 200 ribu spesies dideskripsikan oleh manusia, dan sudah 1 persen darinya dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Jika melihat dari kacamata manusia memang segalanya adalah soal kepentingan manusia, tetapi agaknya kita sudah banyak diperingatkan soal ancaman yang akan melanda akibat kita yang terlalu memikirkan kepentingan sendiri. Entah kembali ke manusia, keterancaman yang melanda spesies lain, atau suatu ancaman yang lebih besar.

Manusia Pesisir


Anak pesisir bermain, Kep. Kei, Maluku Tenggara (2016).

Salah satu keniscayaan pada Indonesia yang memiliki bentuk archipelago atau kepulauan, ialah interaksi langsung manusianya pada laut. Kemudian interaksi itu membentuk masyarakat dan budayanya tersendiri yang berada di wilayah pesisir. Kebanyakan dari masyarakat pesisir akan mencari mata pencaharian di laut, atau menjadi nelayan. Selain mencari bahan penghidupan, nelayan juga menjadi tonggak hasil laut Indonesia.

Namun tidak begitu baik kabar para nelayan itu, atau lebih umumnya masyarakat pesisir. Sebesar 32,4% masyarakat pesisir Indonesia tergolong masyarakat miskin (2015), sebuah angka yang cukup menunjukkan ironi sebagai negara maritim, atau setidaknya wilayah yang memiliki sejarah kemaritiman yang kuat. Kalahnya nelayan tradisional dengan nelayan trawl yang telah menggunakan peralatan yang lebih canggih, serta sulit terpenuhinya hak dasar kehidupan, memengaruhi kemiskinan masyarakat pesisir yang berlarut.

Ancaman tidak berakhir di situ. Pemanasan global dan perubahan iklim yang makin terlihat nyata akan memperlihatkan salah satu efeknya yang paling nyata yaitu pencairan es yang berada di kutub utara. Pencairan ini secara langsung akan memberikan dampak nyata pada hilang atau bergesernya kawasan pesisir, dan otomatis akan memengaruhi habitat biota laut sekitar, juga tentunya masyarakat pesisir. Maka justru masyarakat pesisir yang selama ini paling akrab dengan laut, terancam paling besar oleh laut.

Sampah Laut

Pada luasnya daratan yang dipenuhi manusia, sepertinya laut menjadi ‘tempat aman’ bagi manusia untuk membuang sisa barang aktivitasnya (karena tidak ada manusia). Tetapi tidak (aman), peradaban manusia telah membuang begitu banyak sampah ke lautan bumi.

Sampah laut (marine debris) diartikan sebagai sampah yang berasal dari daratan, badan air, dan pesisir atau sampah dari kegiatan di laut, menurut Perpres No. 83 Tahun 2012 tentang Penanganan Sampah Laut. Sebagian besar sampah laut adalah sampah plastik, di samping ada beberapa sampah laut lainnya yang umum: logam, kertas, atau tekstil. Namun yang mencengangkan, jumlah sampah plastik di samudera bumi telah mencapai 150 ton (World Economic Forum, 2016)! Dan jumlahnya akan terus bertambah 8 ton tiap tahunnya jika tidak dilakukan antisipasi.

Sayangnya pula, Indonesia kembali memiliki statistik yang tidak mengenakkan, yaitu berada di nomor 2 sedunia, untuk urusan menyumbang sampah plastik ke laut. Hanya kalah dari Tiongkok, Indonesia menyumbang 1,29 juta ton sampah plastik tiap tahunnya! Dan jika kita membandingkan dengan India (yang memiliki populasi pesisir sama dengan Indonesia, 187 juta), negara itu menghasilkan sampah plastik 0,24 juta ton per tahun, atau lima kali lebih sedikit daripada Indonesia.

Apakah kita sedang dalam penurunan? Hm, bagaimana dengan naiknya industri minuman kekinian yang memakai gelas plastik sekali pakai, terlihat akan mengurangi produksi sampah plastik? Dan tidak hanya sampah, polusi laut oleh manusia yang juga besar, dihasilkan berupa tumpahan minyak! Dari data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dalam rentang 1998-2017 kasus tumpahan minyak di Indonesia ada sejumlah 37 tumpahan.

Kenaikan Suhu dan Muka Air Laut

Sampailah kita pada core ancaman pemanasan global dan perubahan iklim. Aktivitas manusia yang meningkatkan konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) akan menyebabkan efek rumah kaca (ERK). ERK ini yang kemudian secara perlahan akan membuat bumi semakin panas secara global, yang akhirnya menyebabkan perubahan iklim.

Apa yang terjadi pada proses pemanasan global dan perubahan iklim? Secara sederhana, terjadi pemanasan menyeluruh pada suhu bumi. Dampak pada daratan mungkin dapat dirasakan langsung oleh manusia, dengan rasa cuaca yang sepertinya lebih panas dibandingkan dulu. Namun menurut IAP, pada peningkatan suhu bumi, 90 persen darinya terserap ke lautan, yang itu akan meningkatkan suhu lautan.

Lalu apa dampak peningkatan suhu lautan? Awal tahun 2020, Ferguson, warga Selandia Baru, secara tidak sengaja menemukan ratusan ribu kerang mati terpanggang, yang kemudian dikonfirmasi sebagai akibat dari pemanasan suhu laut. Ini contoh kasus pada biota laut yang bisa manusia lihat. Namun seperti diskusi Ruang Publik KBR tentang menjaga laut, pun disebutkan bahwa pemanasan suhu laut tidak hanya terjadi di permukaan, namun juga di laut dalam.

Maka pada 80 persen lautan yang belum dijelajahi manusia, di sana tidak menutup kemungkinan untuk juga terkena dampak dari aktivitas manusia: pemanasan suhu laut, hingga ke dalamnya samudera!

Lalu bagaimana dengan cairnya es di kutub utara? Iya, itu juga dampak, common sense yang kita ketahui bahwa es yang dipanaskan akan mencair. Mengenai seberapa besar dampaknya, seperti yang disebutkan di situs National Geographic, kemungkinan terparah yaitu jika seluruh es mencair—Greenland maupun Antartika, permukaan air laut akan naik setinggi 66 meter. Dan sampai sini sepertinya kita tidak butuh bayangan realita lagi.

 

***

 

Juli 2016, aku mengarungi lautan di kawasan Pulau Bair, Kepulauan Kei, Kab. Maluku Tenggara. Bersama masyarakat setempat, aku begitu menikmati pemandangan, di kawasan yang katanya kembaran Raja Ampat ini. Namun bagi mereka, sudah menjadi hal yang biasa saja, bisa dilihat sehari-hari. Tetapi, pikirku, setidaknya ini mendatangkan penghasilan pariwisata bagi mereka. Dan tanggung jawabku (juga mereka, tentunya) sebagai pelancong, adalah menjaga segala keindahan itu.

Jika pun aku tidak sempat ke sana lagi, walaupun rasa ini merindu kepada keindahannya, setidaknya aku ingin tahu bahwa tempat itu masih sebagaimana yang kulihat kala itu. Lalu kubayangkan segala keindahan pemandangan laut di tempat-tempat lain, dan kuharapkan hal yang sama.

Dalam hal ini, menurutku, kedaulatan laut bukan soal kedaulatan manusia atas laut, atau nasionalitas Indonesia atas kekayaan lautnya, namun kedaulatan laut itu sendiri, untuk terus lestari dan berkelanjutan. Melewati banyak peringatan tahunannya, World Oceans Day sampai di tahun 2020 dengan tema “Innovation for a Sustainable Ocean”.

Sebuah inovasi untuk keberlanjutan, itu yang kita butuhkan. Bukankah inovasi adalah cara untuk menyelesaikan masalah? Karena pada lautan yang menyatu dan mempersatukan daratan-daratan di dunia, hal itu justru memberikannya kedaulatan tersendiri sebagai aktor pengancam manusia ketika terjadi perubahan iklim. Maka jika manusia adalah aktor utama dalam mengubah iklim, manusia juga yang menjadi penentu utama masa depan iklim, yang tentunya, ingin kita hidup dengan nyaman to?

Akhirnya, mari kita melihat masalah laut secara komprehensif, agar kita paham bagaimana kita memaknai laut, seberapa penting menjaga laut, dan kenapa harus peduli kepada ribuan kehidupan di dalamnya.


Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

Komentar