Cerita Wayang: Bhagawad Gita
Sri Kresna bertindak
sebagai duta para Pandawa dalam meminta kembali hak mereka setelah menjalani
hukuman 13 tahun. Namun semuanya gagal. Terlewat suatu peristiwa yang dinamakan
Kresna Duta itu menjadi usaha terakhir memperjuangkan perdamaian melalui
diplomasi antara Pandawa dan Kurawa. Latar masih di negara Hastinapura, Dewi
Kunti Nalibrata, ibu para Pandawa, cemas sepeninggal Sri Kresna. Ia telah
mengira bakal terjadi peperangan dahsyat karena perundingan gagal. Ia tahu
bahwa Adipati Karna Suryaputra adalah seorang ksatria gagah sakti. Bila terjadi
peperangan pasti ia akan membela Kurawa. Ia memberanikan diri membujuk Karna
supaya membela Pandawa.
“Karna putra
pertamaku, ketahuilah perang besar akan segera terjadi. Namun ini perang
saudara, Ibu sangat ngeri.”
“Saya tak
pernah bersama Pandawa yang katanya saudara mudaku itu. Duryudhana juga
saudaraku, kami sama-sama menantu Rama Prabu Salya. Dan yang terpenting, para
Kurawa selalu menghargaiku.”
“Tidakkah kau
melihat para Pandawa itu telah menderita 13 tahun dan masih saja Kurawa tak mau
mengalah sedikitpun?”
“Saya tahu,
Ibu. Tapi mungkin itu urusan mereka. Saya hanya merasa harus berterima kasih
kepada Duryudhana dan para Kurawa atas semua yang dilewati selama ini.”
“Ibu masih
membayangkan apa yang terjadi nanti, kengerian yang terjadi. Dan tidak sanggup
melihat putra-putra Ibu akan saling bertarung.”
“Ini seperti
sudah digariskan dalam takdir, Ibu. Soal itu kita lihat nanti bagaimana kami
saling bersikap. Namun aku telah memikirkan apa yang aku pilih.”
Sementara itu,
selepas pamitnya Sri Kresna, Prabu Duryudhana langsung berunding denga para
ketua dan saudara-saudaranya. Persiapan telah dimulai. Ia akan mulai membuat
surat ke Wirata dan ke negara-negara sahabat untuk bantuan menghadapi perang
besar ini. Di hati kecilnya ia cukup deg-degan akan berhadapan dengan saudara
sepupu sendiri, dengan kedahsyatan yang tinggi, namun ego dan pengaruh
lingkungan sekitarnya tetap memaksa hal ini.
Negara-negara
yang dikirimi suratnya antara lain Banlika, yang dirajai Prabu Burisrawa, adik
ipar Prabu Duryudhana; Gandara, yang dirajai oleh Prabu Suwala, ayah Dewi
Gandhari dan Arya Sangkuni, Maespati, rajanya bernama Prabu Nila, dan beberapa
negara lain yang memihak Hastina dibandingkan Pandawa. Sejak Sesaji Rajasuya,
Amarta memang telah menjadi negeri besar dengan Mahaprabu Yudhistira memimpin
perdamaian, namun sejak itu pula hati para Kurawa tak pernah rela dan selalu
berusaha untuk menjatuhkan Yudhistira dengan Amarta-nya. Setelah Amarta jatuh
ke tangan Duryudhana, negeri-negeri perdamaian pun lepas.
Selain itu, ada
satu tokoh yang diharapkan oleh Duryudhana dan Sangkuni, ialah Prabu Salya.
Namun ia harus bergegas karena Prabu Salya ada kemungkinan menuju ke Wirata
karena keponakannya berada di sana, Nakula dan Sadewa. Benar saja, ia sudah
siap berkunjung ke Wirata, dan pemerintahan dititipkan kepada putra bungsunya,
Rukamarata. Namun kebetulan seorang pengantar surat dari Gandara melihat
rombongan kecil Prabu Salya yang sedang menuju Wirata. Ia melaporkan hal
tersebut kepada Prabu Duryudhana. Duryudhana pun langsung bergegas membuat
surat kepada Prabu Salya dengan dalih Banowati sakit dan minta dijenguk.
Akhirnya, arah
kereta rombongan Prabu Salya berbelok ke Hastina, hanya untuk berkunjung
sebentar juga atas permintaan. Ia bertemu dengan para tetua Hastina dan Kurawa.
Kita beralih ke
Wirata, dimana para Pandawa sedang membuat surat-surat untuk dikirimkan kepada
sekutu-sekutu mereka. Pertama, Prabu Drupada akan pulang terlebih dahulu ke
negaranya untuk membawa balatentaranya. Gatotkaca juga pulang ke Pringgandani
membawa balatentara raksasanya. Ia telah dinobatkan sebagai raja Pringgandani,
menggantikan ibunya, Arimbi. Sempat terjadi perseteruan dengan para pamannya,
namun akhirnya semua pamannya rela. Brajadenta dan Brajamusti malah merasuk ke
kedua tangan Gatotkaca yang menjadikannya semakin sakti. Mereka mengirimkan
surat kepada Negara Cedi, yang dirajai oleh Prabu Drestaketu, adik Sisupala
yang dahulu mendendam kepada Sri Kresna, namun kini menyatakan kesetiaannya
kepada Pandawa; Magadha, Prabu Jayasetna, putra Jarasandha, yang dulu pernah
ditaklukan Amarta jelang Rajasuya; dan Kumbina, Prabu Rukmaka, sepupu Sri
Kresna. Sedangkan Pancala dan Wirata sudah langsung mengerahkan balatentaranya
untuk Pandawa. Prabu Drupada bergegas pulang dan kembali lagi ke Wirata untuk
menyatukan kekuatan.
Bertahap,
datanglah berbagai balatentara masuk ke wilayah Wirata. Pertama, Pringgandani
yang sebagian besar raksasa dipimpin Prabu Gatotkaca memasuki kota. Kemudian
disusul balatentara Pancala, dipimpin langsung oleh Prabu Drupada. Di
belakangnya muncul Srikandi menaiki seekor kuda putih. Setelah itu, Satyaki
memimpin barisan Lesanpura.
Keesok harinya,
datanglah sebuah kereta megah dari Negara Mandura. Basudewa, ayah Baladewa dan
Sri Kresna, hadir. Ia sudah terlihat sepuhnya, menyempatkan datang ke Wirata,
ingin melihat cucunya yang telah tumbuh besar, Abimanyu. Abimanyu juga baru
melangsungkan pernikahan dengan Utari, putri Wirata. Sedangkan Prabu Baladewa
sedang bertapa di Grojogan Sewu, memang disiasati Sri Kresna agar tak
menyaksikan Bharatayudha, ditemani putra Sri Kresna, Satyaka. Karena belakangan
ini jelang Bharatayudha, Baladewa lebih dekat dengan Kurawa.
Kemudian,
muncullah angkatan perang Cedi, dipimpin langsung oleh rajanya, Prabu
Drestaketu. Setelah itu, tampak barisan tentara yang menaiki gajah. Itu adalah
balatentara Magadha, disusul rajanya, Prabu Jayatsena. Keduanya merupakan
kerabat dari dua orang yang dulu sangat membangkang dan melawan para Pandawa,
namun mereka berseberangan dengan kakak dan ayah mereka itu hingga setelah
tewas, mereka menyatakan mendukung dan setia kepada Pandawa.
Keesokan
harinya lagi muncul balatentara yang dipimpin oleh Prabu Rukmaka dari Kumbina.
Ia adalah sepupu dan ipar Sri Kresna. Kakaknya, Dewi Rukmini, menjadi istri Sri
Kresna. Ia membawa beribu-ribu barisan penggempur yang menaiki kuda gurun. Di
sekitar wilayah negara Wirata kini telah penuh oleh tenda-tenda. Bukit-bukit
yang dipenuhi pohon-pohon yang hijau kini berubah menjadi tenda-tenda berwarna
putih.
Pada suatu
ketika datanglah seorang ksatria yang sangat cakap dengan tenangnya memasuki
istana Wirata. Ia terlihat oleh Gatotkaca. Setelah ditanya-tanya, ternyata
dialah Bambang Irawan, putra Adipati Arjuna dan Ulupi. Akhirnya, Irawan dibawa
masuk dan dipertemukan dengan ayahnya yang sedang berbincang-bincang dengan Sri
Kresna. Setelah itu, Irawan dibawa berkeliling istana dan dipertemukan dengan
sesama putra Arjuna, ada Abimanyu, Priyambada, dan Bratalaras.
Menjelang
perundingan para raja, datanglah seorang utusan dari Hastinapura melambaikan
bendera putih. Suratnya segera diterima oleh Sri Kresna. Kemudian, dibacakanlah
surat itu. Isinya adalah:
Kepada para Pandawa dengan
sepucuk surat ini, kami para Kurawa sudah siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Perang harus dengan syarat :
1.
Pertempuran harus dilaksanakan ditempat yang cocok dan cukup luas tempatnya,
yakni Padang Kurusetra.
2.
Pertempuran tidak boleh curang. Setiap ksatria harus satu lawan satu, tidak
boleh mengeroyok, kecuali prajurit.
3.
Tukang masak, pemukul genderang, peniup terompet, tidak boleh dibunuh. Seorang
penasihat tidak boleh ikut berperang. Dari pihak Pandawa terdapat satu
penasihat, yakni Prabu Sri Batara Kresna. Ia tidak boleh ikut bertempur,
kecuali hanya memberi nasihat.
Sekian
Dari Kurawa Hastina.
Para raja telah
sepakat, akhirnya semua berangkat ke Padang Kurusetra. Barisan yang peling
pertama menginjakkan kakinya di Kurusetra adalah balatentara Pringgandani. Tak
lama balatentara pihak Pandawa sudah memenuhi Kurusetra bagian barat.
Sementara itu,
dari balik bukit-bukit Kurusetra bagian timur, balatentara pihak Hastina
muncul. Di tengah-tengah tampak Prabu Duryudhana dan raja-raja sekutunya. Resi
Bhisma Dewabhrata dan Resi Dorna berada dalam satu kereta. Mereka tempak tidak
begitu semangat. Arya Sangkuni memimpin barisan kuda didampingi seluruh Kurawa.
Di barisan paling belakang, tampak Prabu Salya yang mengemudikan keretanya
sangat lambat. Ia merasa tertipu oleh Kurawa. Lain lagi dengan Adipati Karna
Suryaputra. Ia terlihat sangat tenang. Di garis belakang, tenda-tenda telah
dipasang untuk tempat istirahat dan pengobatan. Pada waktu itu, terdapat suatu
awan gelap di atas perkemahan Hastina. Tak lama seluruh perkemahan Hastina
ditutupi awan gelap. Suasana menjadi lebih seram, saat terdengar lolongan
serigala. Balatentara Hastina pada ketakutan. Setelah itu turunlah hujan yang
sangat lebat, disertai petir menyambar, membasahi seluruh perkemahan Hastina.
Tak berapa lama hujan reda dan langit pun cerah kembali. Namun, di wilayah
perkemahan Kurawa padang rumput menjadi kemerah-merahan bagaikan disiram darah.
Setelah kejadian tersebut, Prabu Duryudhana menuju kemah Eyang Bhisma.
Duryudhana menanyakan maksud kejadian yang baru saja terjadi. Eyang Bhisma
menjelaskan bahwa itu adalah suatu tanda bahwa akan terjadi kehancuran di pihak
Hastina. Lalu Eyang Bhisma memberi nasihat dan petuah kepada Duryudhana. Eyang
Bhisma juga menceritakan rahasia Srikandi.
Sementara itu,
Arjuna, yang sedang berjalan-jalan bersama Sri Kresna. Inilah maksudnya saran
eyangnya Abiyasa untuk bertapa mencari senjata sakti kepada Dewata, hingga kini
ia telah mempunyai Pasopati untuk menghadapi perang besar. Mereka naik ke atas
bukit, untuk melihat-lihat perkemahan pihak Hastina. Arjuna merasa tidak mampu
melawan orang-orang yang dihormati, seperti Resi Bhisma, Resi Dorna, dll. Maka,
Kresna menasihati Arjuna agar semangat dalam berperang. Dalam inilah yang
disebut kitab Bhagawad Gita.
“Baiklah,
Arjuna, akan kuberi pelajaran yang sangat tinggi, bagaimana cara mencapai
kebahagiaan yang kekal. Perang itu sesungguhnya adalah alat penghancur untuk
menghilangkan yang lama dan diganti dengan yang baru. Timbulnya keindahan itu
adalah karena perombakan dari yang kuno yang mereka rusak sendiri. Tanpa
persengketaan, manusia tidak bergairah untuk hidup lebih maju, untuk
menciptakan yang lebih aneh. Kesemuanya itu adalah karena hukum alam yang
dipadukan dengan hukum karma yang menguasai seluruh kehidupan. Tanpa perang pun
semua makhluk akan menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti oleh
yang baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati. Demikianlah, ala
mini terus bergerak tak pernah diam,begitu pula pikiran manusia, terus berpikir
dan tak pernah berhenti. Sebagai tempat roh, akan mengalami masa anak-anak,
dewasa, tua, sampai menjadi tengkorak. Bagi yang bijaksana tidak akan
menggoncangkan hatinya. Walaupun tidak perang, alamlah yang akan merusak dan
menghancurkan kehidupan agar manusia sadar, bahwa ia tak berkuasa apa-apa di
dunia ini. Wahai Arjuna, pandanglah olehmu ke bawah sana…”
Arjuna, sang
adipati Madukara, panengah Pandawa, termenung. Sepupu dan sahabatnya, Sri
Kresna, menuruni bukit. Arjuna memandang sejenak suasana sore hari yang luas
itu. Mungkin beberapa hari ke depan keadaannya akan berubah. Padang Kurusetra,
akan menjadi saksi sejarah. Dan dari sudut pandang Adipati Arjuna putra Pandu
Dewanata, dia punya semangat dan renungan tersendiri menghadapi Bharatayuda.
Komentar
Posting Komentar